• “Sesungguhnya yang memakmurkan masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, serta (tetap) menegakkan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut kecuali hanya kepada Allah. Maka mudah-mudahan mereka termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk.” At-Taubah: 18
Saturday, 27 July 2024

Wasiat Politik Agung Rasulullah SAW – Tausiyah Ramadhan #20

Bagikan

WASIAT POLITIK AGUNG RASULULLAH ﷺ

Nabi kita, Muhammad ﷺ di akhir hayatnya menunaikan ibadah haji yang masyhur dikenal dengan nama Haji Wada’. Saat melaksanakan haji tersebut, Nabi berkhutbah di hadapan khalayak. Beliau berkhutbah tidak hanya sekali. Beliau berkhutbah di Hari Arafah, di Hari Nahr, dan di pertengahan Hari Tasyriq.

Beliau ﷺ  berwasiat, memberi nasihat, dan memberi pengarahan sehingga ketika beliau meninggalkan umat ini, beliau telah meninggalkannya dalam keadaan terang-benderang, malamnya bagaikan siang, dan tidaklah orang yang berpaling dari apa yang beliau ajarkan kecuali akan binasa. 

 

Awal Khutbah

Beliau  ﷺmengawali salah satu khutbahnya:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ ! اسْمَعُوا مَا أَقُولُ لَكُمْ، فَإِنِّي لا أَدْرِي لَعَلِّي لا أَلْقَاكُمْ بَعْدَ عَامِي هَذَا فِي هَذَا الْمَوْقِفِ.

“Wahai manusia, dengarlah apa yang akan aku katakan. Sebab sungguh, aku tidak tahu, apakah aku bisa berjumpa lagi dengan kalian setelah tahun ini, di tempat ini.” (HR. Al-Baihaqi, al-Thabari, Abu Awanah)

Dari Jabir bin Abdullah radhiallahu ‘anhuma, ia mengatakan ketika matahari mulai tergelincir pada hari Arafah, Nabi ﷺ berkhutbah (pesan ini diulang dalam momen Hari Raya dan Hari Tasyriq),

 إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا

”Sesungguhnya darah dan harta kalian haram seperti sucinya hari kalian ini di negeri kalian ini dan di bulan kalian ini.” (HR. Muslim)

 عَنْ أَبِي نَجِيْحٍ الْعِرْبَاضِ بْنِ سَاريةَ رَضي الله عنه قَالَ : وَعَظَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ الله عليه وسلم مَوْعِظَةً وَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوْبُ، وَذَرِفَتْ مِنْهَا الْعُيُوْنُ، فَقُلْنَا : يَا رَسُوْلَ اللهِ، كَأَنَّهَا مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ، فَأَوْصِنَا، قَالَ : أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ، فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفاً كًثِيْراً. فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ، فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ.

Dari Abu Najih al-Irbadh bin Sariyah radhiallahu ‘anhu dia berkata: Rasulullah ﷺ memberikan kami nasihat yang membuat hati kami bergetar dan air mata kami bercucuran. Maka kami berkata: “Ya Rasulullah, seakan-akan ini merupakan nasihat perpisahan, maka berilah kami wasiat.” Rasulullah ﷺ bersabda: “Saya wasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah ta’ala, tunduk dan patuh kepada pemimpin kalian meskipun yang memimpin kalian adalah seorang budak. Karena di antara kalian ada yang hidup (setelah ini) akan menyaksikan banyaknya perselisihan. Hendaklah kalian berpegang teguh terhadap Sunnahku dan sunnah al-Khulafa’ al-Rasyidun yang mendapatkan petunjuk, gigitlah dengan  gigi geraham. Hendaklah kalian menghindari bid’ah, karena semua perkara bid’ah adalah sesat.” (HR. Abu Dawud dan al-Tirmidzi)

 

Hadits di atas adalah hadits politik yang sangat penting dan agung. Rasulullah berwasiat beberapa hal: (1) bertakwa kepada Allah; (2) patuh dan taat kepada pemimpin dalam pemerintahan Islam, bagaimanapun kondisinya; (3) setelah zaman kenabian akan ada banyak perselisihan; (4) perintah mengikuti sunnah Nabi Muhammadﷺ  dan sunnah al-Khulafa al-Rasyidun yang mendapat petunjuk (dalam hal penyelenggaraan pemerintahan); (5) perintah berpegang teguh pada sunnah seperti menggigit sesuatu dengan gigi geraham; dan (6) larangan perilaku bid’ah, karena bid’ah adalah kesesatan.

 

Maksud Taat pada Pemimpin.

Meski Seorang Budak

Dalam hadits lain yang semisal, Rasulullah bersabda,

وَلَوِ اسْتُعْمِلَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ يَقُودُكُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ فَاسْمَعُوا لَهُ وَأَطِيعُوا

“Seandainya diangkat sebagai pemimpin atas kalian seorang hamba sahaya yang memimpin kalian dengan Kitabullah maka dengar dan taatilah dia.” (HR. Muslim, Ibn Majah, al-Nasai, Ahmad, dan Abu Awanah)

Hadits ini diriwayatkan dari jalur Ummu al-Hushain al-Ahmasiyah. Hadits di atas disabdakan oleh Rasul ﷺ saat berkhutbah di Haji Wada’. 

 

Hadits ini juga diriwayatkan dengan lafazh lain,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوْا اللهَ، وَإِنْ أُمِّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ مُجَدَّعٌ، فَاسْمَعُوْا وأَطِيْعُوْا مَا أَقَامَ فِيْكُمْ كِتَابَ اللهِ

“Wahai manusia, bertakwalah kepada Allah. Jika diangkat Amir atas kalian seorang hamba sahaya Habasyi yang hitam legam maka dengar dan taatilah dia selama dia menegakkan di tengah kalian Kitabullah” (HR. Al-Tirmidzi).

اِسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَإِنْ اُسْتُعْمِلَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ كَأَنَّهُ رَأْسَهُ زَبِيبَةٌ

“Dengar dan taatlah kalian meski andai diangkat sebagai pemimpin atas kalian seorang hamba sahaya Habasyiy seolah-olah kepalanya bisulan.” (HR. al-Bukhari, al-Nasai dan Ahmad).

 

Perintah Rasul ﷺ untuk menaati pemimpin yang secara syar’i tidak boleh (seperti budak) merupakan bentuk al-mubalaghah (hiperbola). Hal itu menegaskan betapa pentingnya ketaatan kepada pemimpin. Karena memang, para ulama sepakat bahwa seorang hamba sahaya tidak boleh diangkat menjadi pemimpin. Seorang hamba sahaya tidak punya hak tasharruf (pengurusan) atas dirinya sendiri, apalagi diberi hak tasharruf (mengurus) atas orang lain. 

Dengan menukil pendapat para ulama, Imam al-Nawawi menjelaskan lafazh يَقُودكُمْ بِكِتَابِ اللَّه

مَعْنَاهُ مَا دَامُوا مُتَمَسِّكِينَ بِالْإِسْلَامِ وَالدُّعَاء إِلَى كِتَاب اللَّه تَعَالَى عَلَى أَيّ حَال كَانُوا فِي أَنْفُسهمْ وَأَدْيَانهمْ وَأَخْلَاقهمْ ، وَلَا يُشَقّ عَلَيْهِمْ الْعَصَا ، بَلْ إِذَا ظَهَرَتْ مِنْهُمْ الْمُنْكَرَات وُعِظُوا وَذُكِّرُوا

“Maknanya adalah selama para pemimpin itu berpegang teguh dengan Islam, menyerukan Kitabullah, bagaimanapun kondisi mereka dalam hal diri mereka sendiri, keagamaan dan akhlak mereka, dan tidak dipatahkan tongkat atas mereka. Namun, jika tampak dari mereka kemungkaran maka mereka diperingatkan dan diingatkan.” (Al-Nawawi, Syarah an-Nawawi ‘ala Muslim, 4/422)

 

Mafhum Mengikuti Sunnah al-Khulafa’ al-Rasyidun

Lafazh al-khulafa’ adalah jamak dari kata khalifah, istilah khalifah itu sendiri jelas identik dengan “kepemimpinan siyasah” sedangkan istilah sunnah adalah “metode/manhaj”, menunjukkan adanya sunnah (manhaj) para khalifah (di kalangan shahabat) berkaitan dengan kepemimpinan, yang diperjelas dalam hadits lainnya. Rasulullahﷺ  dan al-Khulafa’ al-Rasyidun yang menegakkan manhaj pemerintahan dalam Islam, sebagaimana ditunjukkan dalam hadits,

ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ

“Selanjutnya akan ada kembali Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian.” (HR. Ahmad)

Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz menegaskan:

سَنَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَوُلَاةُ الْأَمْرِ مِنْ بَعْدِهِ سُنَنًا، الْأَخْذُ بِهَا اتِّبَاعٌ لِكِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى، وَاسْتِكْمَالٌ لِطَاعَةِ اللَّهِ تَعَالَى، وَقُوَّةٌ عَلَى دِينِ اللَّهِ، لَيْسَ لِأَحَدٍ مِنَ الْخَلْقِ تَغْيِيرُهَا , وَلَا تَبْدِيلُهَا، وَلَا النَّظَرُ فِي شَيْءٍ خَالَفَهَا، مَنِ اهْتَدَى بِهَا فَهُوَ مُهْتَدٍ، وَمَنِ اسْتَنْصَرَ بِهَا فَهُوَ مَنْصُورٌ، وَمَنْ تَرَكَهَا اتَّبَعَ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ، وَوَلَّاهُ اللَّهُ مَا تَوَلَّى، وَأَصْلَاهُ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

“Rasulullah ﷺ  dan para ulil amri setelahnya (khulafa’ rasyidun) telah menggariskan adanya sunnah, yakni sikap berpegang teguh pada Kitabullah, dan menyempurnakan keta’atan kepada Allah, menegakkan kekuatan (fondasi kehidupan) di atas Din Allah, tidak boleh ada seorang pun dari makhluk-Nya yang boleh mengubahnya, tidak boleh pula menggantikannya (dengan sunnah selainnya), dan tidak dilihat sedikit pun apapun yang menyelisihi sunnah tersebut, siapa saja yang mengambil petunjuk darinya maka ia menjadi orang yang tertunjuki, siapa saja yang mencari kemenangan dengannya maka ia akan diberikan kemenangan, dan siapa saja yang meninggalkannya dengan mengikuti selain jalan orang-orang beriman, maka Allah akan menyerahkan dirinya pada apa ia jadikan tempat bergantung (selain Allah), dan menyeretnya ke dalam Jahannam, dan ia adalah seburuk-buruknya tempat kembali.” (Al-Ajurri al-Baghdadi, Al-Syarî’ah, juz I, hlm. 40)

 

Berpegang Teguh pada Sunnah

Pesan Rasulullahﷺ  lainnya dalam hadits ini adalah berpegang pada sunnah. Hal itu digambarkan dalam bentuk kalimat yang bernilai balaghah, yakni al-isti’arah al-tamtsiliyyah, dimana Rasulullahﷺ  meminjam ungkapan “عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ”, gigitlah dengan gigi geraham yang kuat, untuk menggambarkan keteguhan dalam berpegang pada sunnah, yakni jalan hidupnya Rasulullahﷺ  dan al-Khulafa’ al-Rasyidun. ( Lihat Ibn Rajab, Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam,, juz II, hlm. 126.)

 

Meninggalkan “Bid’ah Politik”

Dengan merujuk kitab al-Sunnah wa al-Bid’ah karya Syaikh Abdullah Mahfuzh Muhammad al-Haddad, kita bisa rumuskan kaidah bid’ah sebagai berikut:

1. Perkara baru yang tidak semisal dengan contoh sebelumnya / اختراع / احداث على غير مثال سابق

2. Perkara tersebut bertentangan dengan hukum syara’ / مقابل الشرع

3. Perkara tersebut ada penambahan dan pengurangan yang menyalahi hukum syara’/ زيادة ونقصان تخالف الشرع

Maka, sistem pemerintahan yang ada saat ini adalah sistem bid’ah, tidak sesuai sunnah Rasulullah dan sunnah al-Khulafa’ al-Rasyidun. Misalnya, kedaulatan dalam membuat hukum harusnya di tangan syariat, bukan di tangan rakyat.

 

Masih dalam kitab al-Sunnah wa al-Bid’ah (hlm. 199), Habib Abdullah Mahfuzh al-Haddad menyebutkan jenis bid’ah kotemporer, yakni tidak menjadikan hukum syariah sebagai Undang-undang. Hukum yang disebut Undang-undang positif tsb telah menjauhkan dari Undang-undang Allah, dimana Undang-undang yang ada telah menghalalkan apa yang Allah haramkan, hingga kaum Muslim tidak mengenali agamanya kecuali  masalah ibadah. 

 

Kesimpulan

Ada enam wasiat agung dari Rasulullah ﷺ : 

1. Hendaknya bertakwa kepada Allah; 

2. Wajib taat kepada pemimpin dalam pemerintahan Islam;

3. Hendaknya waspada bahwa setelah zaman kenabian akan ada banyak perselisihan;

4. Perintah mengikuti sunnah Nabi Muhammadﷺ  dan sunnah al-Khulafa’ al-Rasyidun termasuk dalam urusan politik dan pemerintahan;

5. Perintah berpegang teguh pada sunnah secara kokoh;

6. Larangan perilaku bid’ah, yang dalam konteks ini terkait politik dan pemerintahan. 

Alhamdulillah

SebelumnyaMemundurkan Demokrasi ? - Tausiyah Ramadhan #19SesudahnyaJalan Tengah Bukan Jalan Islam - Tausiyah Ramadhan #21
No Comments

Tulis komentar

Your email address will not be published. Required fields are marked *