Menjauhi Kedustaan
MENJAUHI KEDUSTAAN
KHUTBAH PERTAMA
إنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا
مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ,
أَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لَاشَرِيْكَ لَهُ، شَهَادَةَ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مَّقَامًا وَأَحْسَنُ نَدِيًّا.
وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا محَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الْمُتَّصِفُ بِالْمَكَارِمِ كِبَارًا وَصَبِيًّا.
اَللَّهُمَّ فَصَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُوْلاً نَبِيًّا، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ الَّذِيْنَ يُحْسِنُوْنَ إِسْلاَمَهُمْ وَلَمْ يَفْعَلُوْا شَيْئًا فَرِيًّا،
أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ رَحِمَكُمُ اللهُ،
اُوْصِيْنِيْ نَفْسِيْ وَإِيَّاكُمْ بِتَقْوَى اللهِ، فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ.
قَالَ اللهُ تَعَالَى :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah, dan hendaklah kalian selalu bersama orang-orang yang benar/jujur (TQS at-Taubah [9]: 119).
Ikhwani fiddin a’azzaniyallahu waiyyakum,
Marilah terus berusaha memperbaiki ketakwaan kita kepada Allah SWT. Takwa yang memunculkan sikap tawadlu kepada Allah. Takwa yang menjadikan diri kita senantiasa taat kepada Allah. Melaksanakan perintah-Nya dan meninggalkan seluruh larangan-Nya, dalam seluruh aspek kehidupan, baik dalam urusan pribadi, masyarakat, dan negara.
Hadirin jamaah jumah rahimakumullah
Salah satu karakter orang yang bertakwa adalah merasa senantiasa diawasi oleh Allah SWT. Ada CCTV Allah yang terus menerus 24 jam tanpa henti, tanpa baterai, dan tanpa pernah mati, serta tak bisa ditutupi.
Mereka mengingat betul firman Allah SWT:
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولاً
Janganlah kamu mengikuti apa saja yang tidak kamu ketahui. Sungguh pendengaran, penglihatan dan hati, semua itu akan diminta pertanggung jawaban (TQS al-Isra’ [17]: 36).
Ingatlah, Allah SWT telah menempatkan malaikat yang selalu mendampingi manusia dan mencatat apa yang keluar dari lisannya:
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلاَّ لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
Tiada suatu ucapan pun yang dia ucapkan melainkan di dekatnya ada malaikat pengawas yang selalu hadir (TQS Qaf [50]: 18).
Lalu, apakah mungkin kita lari dari pengawasan Allah?
Hadirin jamaah jumah rahimakumullah
Kedudukan seorang hamba di akhirat kelak salah satunya juga ditentukan dari kemampuannya menjaga lisannya, termasuk jujur dalam perkataan. Nabi saw. bersabda:
مَنْ يَضْمَنْ لِي مَا بَيْنَ لَحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ
Siapa saja yang menjamin untukku apa yang ada di antara dua rahangnya dan apa yang ada di antara dua kakinya, niscaya aku menjamin surga bagi dirinya (HR al-Bukhari).
Maka, kejujuran adalah bagian integral dari agama ini, bukan sekadar nilai moral, apalagi sekadar demi pencitraan. Kejujuran dan keimanan merupakan dua hal yang saling berdampingan. Allah SWT memerintahkan kita untuk senantiasa bersama orang-orang yang benar/jujur (shiddiqin):
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah, dan hendaklah kalian selalu bersama orang-orang yang benar/jujur (TQS at-Taubah [9]: 119).
Tak salah bila di antara kadar keimanan seseorang ditandai dengan keteguhannya dalam menjaga lisannya agar senantiasa lurus. Nabi saw. bersabda:
لاَ يَسْتَقِيمُ إِيمَانُ عَبْدٍ حَتَّى يَسْتَقِيمَ قَلْبُهُ وَلاَ يَسْتَقِيمُ قَلْبُهُ حَتَّى يَسْتَقِيمَ لِسَانُهُ
Tidaklah lurus iman seorang hamba sampai lurus hatinya dan tidaklah lurus hatinya sampai lurus lisannya (HR Ahmad).
Berkaitan dengan menjaga lisan, Imam Syafii rahimahulLah telah berkata, “Jika seseorang mau berbicara, maka sebelum dia berbicara hendaklah berpikir. Jika tampak jelas maslahatnya maka dia berbicara. Jika dia ragu-ragu maka dia tidak akan berbicara sampai jelas maslahatnya.”
Di antara lurusnya lisan adalah jujur dalam berbicara. Kejujuran ini akan mengantarkan pada kebaikan dan selanjutnya membawa pelakunya ke surga. Nabi saw. bersabda:
إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ، وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ حَتَّى يَكُوْنَ صِدِّيْقًا
“Sungguh kejujuran akan membimbing menuju kebaikan dan kebaikan akan membimbing menuju surga. Sungguh seseorang akan bersungguh-sungguh berusaha untuk jujur sampai akhirnya ia menjadi orang yang benar-benar jujur.” (HR al-Bukhari).
Hadirin jamaah jumah rahimakumullah
Sungguh memprihatinkan, kalau hari ini ada kaum Muslim menganggap kebohongan atau kedustaan sebagai perkara biasa, bahkan dianggap sebagai bagian dari kehidupan. Sungguh ini bukanlah karakter orang yang bertakwa. Bukankah Nabi saw sudah mengingatkan:
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
“Tanda orang munafik ada tiga: jika bicara, dusta; jika berjanji, ingkar; jika dipercaya, khianat.” (HR al-Bukhari).
Di antara berkata dusta adalah menceritakan apa yang sebenarnya tidak ia saksikan. Artinya, ia mengarang-ngarang cerita yang kemudian disebarkan kepada orang lain.
مِنْ أَفْرَى الْفِرَى أَنْ يُرِىَ عَيْنَيْهِ مَا لَمْ تَرَ
“Di antara sebesar-besarnya kedustaan adalah orang yang mengaku matanya telah melihat apa yang sebetulnya tidak dia lihat.” (HR al-Bukhari).
Dalam kehidupan, sering orang berdusta baik untuk keuntungan dirinya maupun untuk merampas hak orang lain, dan membuat orang lain celaka. Para koruptor memalsukan laporan keuangan, tanda bukti pembayaran, dsb. Ada juga orang-orang yang ingin menjatuhkan kehormatan seseorang dan merampas haknya tanpa takut memberikan kesaksian palsu di pengadilan maupun kepada orang lain. Padahal bersaksi palsu, apalagi untuk merampas hak sesama, adalah salah satu dosa besar yang sudah diperingatkan oleh Nabi saw.
Pantaslah bila Islam menempatkan kesaksian palsu sebagai dosa besar yang kelak akan menyeret pelakunya ke dalam siksa Allah SWT.
Dan, perbuatan menipu dan memperdaya orang lain akan lebih berat lagi manakala dilakukan oleh para penguasa yang menipu rakyatnya. Nabi saw. bersabda:
مَا مِنْ عَبْدِ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً، يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ، وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِه، إِلاَّ حَرَّمَ اَللَّهُ عَلَيْهِ اَلْجَنَّةَ
“Tidaklah seorang hamba pun yang diberi amanah oleh Allah untuk memimpin rakyatnya yang pada hari kematiannya ia masih berbuat curang atau menipu rakyatnya, melainkan Allah mengharamkan surga bagi dirinya.” (HR Muttafaq ‘alaih).
Terhadap penguasa yang demikian, Nabi saw. mengingatkan, “Sungguh akan ada setelahku para pemimpin pendusta dan zalim. Siapa saja yang mendatangi mereka, kemudian membenarkan kebohongan mereka, atau membantu mereka dalam kezaliman mereka, maka dia bukan dari golonganku dan aku bukan dari golongannya, dan dia tidak akan minum dari telagaku.” (HR Ahmad).
[]
بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِن الآيَةِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَإِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ، وَأَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم
Khutbah II