MEMAHAMI MAKNA TAWAKAL
Hadits tentang tawakal yaitu “ ikatlah dan bertawakallah kepada Allah” sebenarnya merupakan objek, pengambilan sebab dan musabab. Hadits tersebut adalah pengajaran kepada seorang a’robi (orang arab pedalaman) ketika dia memahami bahwa tawakal berarti tidak mengambil sebab dan musabab. Kemudian Rasulullah saw mengajarinya bahwa tawakal tidak berarti tidak mengkaitkan sebab dan musabab, hadits tersebut tidak menghapus tentang wajibnya mengkaitkan sebab dengan musabab. Tetapi hadits tersebut merupakan perkara lain selain dalil-dalil tersebut. Rasul menyuruh si a’robi untuk mengambil sebab dan musabab disertai dengan bertawakal. Dalam hadits tersebut dikatakan bahwa :”Ada seorang laki-laki kepada Nabi saw, dia ingin meninggalkan untanya kemudian dia berkata, “Aku akan melepaskan untuaku, dan akan bertawakalkepada Allah”, maka Nabi bersabda kepadanya “Ikatlah untamu dan bertawakkallah kepada Allah”.
Hadits tersebut pertama mengajarkan terhadap si A’robi agar mengikat untanya, kedua, memberikan pemahaman kepadanya bahwa bertawakal tidaklah berarti meninggalkan sebab musabab. Dan ketiga, memerintahkan supaya mengkaitkan antara sebab dengan musabab dan bertawakal. Karena itu hadits tersebut bukan merupakan pembatasan terhadap dalil-dalil tawakal, bagaimanapun keadaannya. Dengan demikian bertawakal kepada Allah, wajib tanpa memandang sebab dan musabab.
Masalah sebab musabab bukanlah pembatasan terhadap tawakal dan penjelasan tentang hukumnya. Karena dalil-dalil tentang tawakal datang dengan bentuk mutlak tidak dibtasi dengan nash apapun. Juga karena dalil-dalil tawakal tidak bersifat global sehingga memerlukan penjelasan. Masalah pengkaitan sebab dan musabab adalah masalah lain selain masalah tawakal, dalil-dalilnya pun bukan merupakan dalil tawakal, karena itu tidak benar apabila digabungkan dengan tawakal atau dijadikan pembatas terhadap tawakal. Sebagaimana umat Islam wajib mengambil sebab musabab yang telah dijelaskan dan ditetapkan dengan dalil-dalil syara’. Begitu juga umat Islam wajib bertawakal yang telah ditetapkan dengan dalil syara’. Juga salah satu dari keduanya tidak menjadi pembatas dan syarat bagi yang lainnya.
Wawu yang ada pada hadits ..i’qilha wa tawakkal…mengandung arti mutlak berkumpul (mutlaq al jami’), tidak memberikan arti urutan (tartib) dan ta’qib juga bersama-sama (ma’iyyah) seperti dalam ungkapan Zaid dan Amar datang (jaa’a zaid wa amar) ‘athaf yang ada pada ungkapan I’qilha adalah ‘athaf mughoyyaroh ( ‘athaf yang memberikan arti bahwa ma’thuf tidak sama dengan ma’thuf ‘alaih, -pent.), bukan ‘athaf tafsir (‘athof yang memberikan ma’thuf –yang ada setelah wawu- sama dengan ma’thuf ‘alaih –yaitu yang sebelum wawu-. –pent.). Sebagaimana dalam etimologi kata wawu tidak memberikan arti tartib dan ta’kib, karena huruf itu sudah tentu yaitu fa, tsumma, dan hatta. Maka apabila Rasulullah saw yang paling fasih dan paling tahu tentang bahasa, bermaksud mentertibkan tawakal terhadap usaha yaitu mengikat unta, tentu saja Rasul akan menggunakan kata yang memberikan arti tertib yaitu Rasul akan berkata tsumma tawakkal (kemudian bertawakkallah) atau fatawakkal (terus bertawakallah) atau yang semakna dengannya. Dengan demikian maka makna hadits tersebut adalah: bertawakkallah kepad Allah, kemudian ikatlah untamu” karena bertawakal itu adanya sebebelum berusaha bukan setelahnya. Allah berfirman “Apabila engkau telah membulatkan tekad maka bertawakallah kepada Allah”. Ayat ini menjelaskan bahwa ketika kita telah membulatkan tekad terhadap suatu urusan, atau akan mengerjakan suatu amal, kta harus bertawakal kepada Allah. Allah mengurutkan tawakal terhadab ‘azzam dengan menggunakan fa, pada kata fatawakkal yang memberikan arti urutan, seperti ungkapan, Zaid berdiri, kemudian Amar, (qooma zaid fa amar). Allah tidak mengurutkan tawakal terhadap amal yaitu mengambil sebab, tetapi Allah menertibkan terhadap dimulainya pekerjaan yaitu ketika membulatkan tekad untuk melaksanakan amal.