Seruan Masjid

Khadimul Ummah wa Du'at

PALESTINA BUTUH PENGUASA YANG MELINDUNGI, BUKAN YANG HANYA PINTAR BASA-BASI

PALESTINA BUTUH PENGUASA YANG MELINDUNGI, BUKAN YANG HANYA PINTAR BASA-BASI

Buletin Kaffah No. 318 (26 Rabiul Akhir 1445 H/10 November 2023 M)

 

Sudah hampir sebulan kaum Muslim Palestina dibantai secara keji oleh Zionis Yahudi. Sudah sekitar 10 ribu korban syahid. Ribuan di antaranya adalah bayi/anak-anak. Puluhan ribu lainnya terluka parah. Semua akibat puluhan ribu ton bom yang dijatuhkan oleh Zionis Yahudi, khususnya di Gaza. Selain korban jiwa, ratusan gedung runtuh dan rata dengan tanah. Bahkan sejumlah rumah sakit pun tak lepas dari sasaran bom-bom Zionis Yahudi. 

 

Namun demikian, rupanya kaum Zionis Yahudi memang sudah tak punya hati. Tak lagi memiliki rasa kemanusiaan. Mereka sudah seperti binatang. Bahkan lebih keji dari binatang yang paling buas sekalipun. Semua mereka bom. Termasuk instalasi listrik dan instalasi air yang amat vital bagi kebutuhan dasar rakyat Palestina. 

 

Tentu tragedi Palestina yang terus berulang amat menyayat hati. Yang lebih menyayat hati adalah menyaksikan sikap para penguasa Arab dan Muslim yang tak pernah berubah dalam merespon tragedi di Palestina dari dulu sampai sekarang. Mereka hanya pintar mengecam dan mengutuk. Sebagian lainnya diam membisu. Bahkan yang sangat memuakkan, beberapa penguasa Arab dan Muslim tetap menjalin hubungan diplomatik dengan Israel. 

 

Sebagian penguasa Arab dan Muslim memang mengirim bantuan kemanusiaan. Namun, kita sangat paham, itu semua hanya pencitraan. Terutama di hadapan rakyat yang sudah mulai jengah dan tampak marah. Sebabnya, mereka sangat kecewa terhadap para penguasanya yang tak pernah mengambil opsi militer. Tak pernah mau mengirim pasukan untuk menggempur kaum Zionis Yahudi. Mereka semua pengecut. Padahal jelas, kaum Zionis Yahudi sungguh amat lemah. Kaum Zionis Yahudi tampak kuat lebih karena sikap pengecut para penguasa Arab dan Muslim. Mereka lebih memilih berdiam diri.

 

Untuk Apa Berkuasa?

 

Pertanyaannya: Lalu untuk apa para penguasa Arab dan Muslim itu berkuasa? Untuk apa pula mereka saling berebut kekuasaan? Toh pada akhirnya kekuasaan mereka tak berguna untuk melindungi umat Islam. Kekuasaan mereka pun tak berguna untuk menegakkan syariah Islam secara kâffah. Apalagi untuk mengemban risalah Islam ke berbagai penjuru dunia dengan dakwah dan jihad fi sabilillah. 

 

Menegakkan Islam dan Melindungi Kaum Muslim

 

Dalam Islam kekuasaan tentu sebuah keniscayaan. Bahkan Islam dan kekuasaan tak dapat dipisahkan. Karena itu tepat ungkapan para ulama saat menjelaskan pentingnya Islam berdampingan dengan kekuasaan:

 

اَلدِّيْنُ وَ السُّلْطَانُ تَوْأَمَانِ وَ قِيْلَ الدِّيْنُ أُسٌّ وَ السُّلْطَانُ حَارِسٌ فَمَا لاَ أُسَّ لَهُ فَمَهْدُوْمٌ وَ مَا لاَ حَارِسَ لَهُ فَضَائِعٌ

 

Agama dan kekuasaan itu ibarat dua saudara kembar. Dikatakan pula, agama adalah fondasi, sementara kekuasaan adalah penjaganya. Apa saja yang tidak berfondasi bakal hancur. Apa saja yang tidak memiliki penjaga akan lenyap (Abu Abdillah al-Qali, Tadrîb ar-Riyâsah wa Tartîb as-Siyâsah, 1/81).

 

Terkait pentingnya kekuasaan untuk menegakkan Islam, Allah SWT berfirman:

 

وَقُلْ رَبِّ أَدْخِلْنِي مُدْخَلَ صِدْقٍ وَأَخْرِجْنِي مُخْرَجَ صِدْقٍ وَاجْعَلْ لِي مِنْ لَدُنْكَ سُلْطَانًا نَصِيرًا

 

Katakanlah, “Tuhanku, masukkanlah aku dengan cara yang benar, dan keluarkan (pula) aku dengan cara yang benar, dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong.” (TQS al-Isra’ [17]: 80).

 

Kekuasaan “yang menolong” adalah kekuasaan yang mampu menegakkan Islam. Imam Ibnu Katsir, seraya mengutip Qatadah (w. 117 H), saat menjelaskan frasa “kekuasaan yang menolong”, menyatakan: “…(yakni kekuasaan) untuk membela Kitabullah, menerapkan hukum-hukum-Nya, melaksanakan berbagai kewajiban dari-Nya dan menegakkan agama-Nya.” (Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-Azhîm, 5/111).

 

Faktanya, pasca hijrah ke Madinah dari Makkah, Rasulullah saw. berhasil menegakkan kekuasaan Islam, yakni dengan mendirikan Negara Islam. Di dalam institusi Negara Islam inilah beliau menggunakan kekuasaannya—sebagai kepala negara—untuk menegakkan syariah Islam secara kâffah dalam seluruh aspek kehidupan. 

 

Kekuasaan itu pun beliau gunakan untuk melindungi kaum Muslim. Karena itulah pada masa kekuasaan Rasulullah saw. pula kaum Yahudi, misalnya, diperangi dan diusir dari Madinah. Pasalnya, mereka secara berani membunuh seorang lelaki Muslim yang membela kehormatan seorang Muslimah yang dilecehkan oleh seorang Yahudi. 

 

Pasca Rasulullah saw. wafat, Khulafaur Rasyidin dan para khalifah setelah mereka juga benar-benar memerankan diri mereka sebagai pelindung sejati kaum Muslim. 

 

Alhasil, penting dan wajib bagi kaum Muslim berkuasa. Namun demikian, lebih penting dan lebih wajib lagi menjadikan Islam berkuasa, yakni dengan menjadikan syariah Islam sebagai satu-satunya aturan untuk mengatur negara, bukan yang lain. Hanya dengan kekuasaan Islamlah akan tercipta keadilan di tengah-tengah manusia. Saat keadilan tercipta, kezaliman pun pasti sirna. Hanya dengan kekuasaan Islam pula kaum Muslim di manapun bisa terlindungi dari segala ancaman. Juga hanya dengan kekuasaan Islam, risalah Islam bisa diemban ke seluruh dunia dengan dakwah dan jihad fi sabilillah. Dengan begitu Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin betul-betul bisa terwujud di seluruh penjuru bumi. Itulah realitas yang benar-benar terjadi saat kekuasaan itu berada di tangan Baginda Rasulullah saw., Khulafaur Rasyidin dan orang-orang shalih setelah mereka. 

 

Kekuasaan adalah Amanah

 

Allah SWT berfirman: 

 

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا اْلأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ

 

Sungguh Allah menyuruh kalian memberikan amanah kepada orang yang berhak menerimanya, juga (menyuruh kalian) jika menetapkan hukum di antara manusia agar kalian berlaku adil (TQS an-Nisa’ [4]: 58).

 

Imam Ibnu Katsir menjelaskan, “Pada dasarnya, amanah adalah taklif (syariah Islam) yang harus dijalankan dengan sepenuh hati, dengan cara melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Jika ia melaksanakan taklif tersebut maka ia akan mendapatkan pahala di sisi Allah. Sebaliknya, jika ia melanggar taklif tersebut maka ia akan memperoleh siksa.” (Ibnu Katsir, Tafsîr Ibnu Katsîr, III/522).

 

Terkait amanah kekuasaan, Imam ath-Thabari, dalam Tafsîr ath-Thabarî, menukil perkataan Ali bin Abi Thalib ra., “Kewajiban penguasa adalah berhukum dengan hukum yang telah Allah turunkan dan menunaikan amanah…”

 

Terkait amanah kekuasaan, Rasulullah saw. juga bersabda, “Tidaklah seorang penguasa yang diserahi urusan kaum Muslim, kemudian ia mati, sedangkan ia menelantarkan urusan tersebut, kecuali Allah mengharamkan surga untuk dirinya.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

 

Mengenai hadis di atas, Imam Fudhail bin Iyadh rahimahulLâh, sebagaimana dikutip oleh Imam an-Nawawi rahimahulLâh dalam Syarh Shahîh Muslim, menuturkan, “Penelantaran itu bisa berbentuk tidak menjelaskan urusan-urusan agama kepada umat, tidak menjaga syariah Allah dari unsur-unsur yang bisa merusak kesuciannya, mengubah-ubah makna ayat-ayat Allah dan mengabaikan hudûd (hukum-hukum Allah). Penelantaran itu juga bisa berwujud pengabaian terhadap hak-hak umat, tidak menjaga keamanan mereka, tidak berjihad untuk mengusir musuh-musuh mereka dan tidak menegakkan keadilan di tengah-tengah mereka. Setiap orang yang melakukan hal ini dipandang telah berkhianat kepada umat.” 

 

Jelas sekali, penguasa khianat—termasuk yang berdiam diri dan enggan membela kaum Muslim yang tertindas di mana pun, khususnya di Palestina saat ini—sesungguhnya telah diancam oleh Rasulullah saw. melalui hadis di atas. 

 

Mewujudkan Kembali Pesan Rasulullah saw.

 

Penjajahan, pendudukan dan pembantaian umat Islam Palestina oleh Zionis Yahudi seharusnya mengingatkan kembali para penguasa Arab dan Muslim pada tiga Hadis Nabi saw. berikut ini:

 

Pertama, Hadis Nabi saw. tentang perlindungan darah dan harta kaum Muslim. Beliau bersabda pada Hari Arafah:

 

إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ كَحُرْمَة يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا

 

Sungguh darah dan harta kalian itu haram (suci) seperti sucinya hari kalian ini, di negeri kalian ini dan pada bulan kalian ini (HR Muslim).

 

Artinya, tak boleh sedikit pun darah kaum Muslim tertumpah tanpa haq. Konsekuensinya, tak boleh pula bagi siapapun, apalagi para penguasa Muslim, membiarkan ada darah seorang Muslim pun, di mana saja di dunia ini, ditumpahkan tanpa ada pembelaan.

 

Kedua, Hadis Nabi saw. tentang persatuan dan kesatuan kaum Muslim sedunia berdasarkan akidah Islam, bukan atas dasar kebangsaan (nasionalisme), termasuk sekat-sekat negara-bangsa (nation state):

 

يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَلاَ إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ أَلاَ لاَ فَضْلَ لِعَرَبِىٍّ عَلَى أَعْجَمِىٍّ وَلاَ لِعَجَمِىٍّ عَلَى عَرَبِىٍّ وَلاَ لأَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ وَلاَ أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ إِلاَّ بِالتَّقْوَى 

 

Wahai manusia, ingatlah, Tuhan kalian satu. Bapak kalian juga satu. Ingatlah, tidak ada keutamaan bagi orang Arab atas non-Arab, juga bagi orang non-Arab atas orang Arab, dan tidak ada keutamaan bagi orang berkulit merah atas kulit hitam, juga bagi orang berkulit hitam atas kulit merah, kecuali karena ketakwaannya (HR Ahmad).

 

Ketiga, Hadis Nabi saw. tentang kewajiban adanya Imam/Khalifah sebagai perisai/pelindung umat. Rasulullah saw. bersabda:

 

إنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ

 

Sungguh Imam/Khalifah (Kepala Negara) itu laksana perisai; (orang-orang) akan berperang di belakang dia dan berlindung kepada dirinya (HR al-Bukhari dan Muslim).

 

Yang terakhir ini bermakna, kaum Muslim sedunia wajib menegakkan kembali Khilafah. Dengan itu kaum Muslim sedunia bisa memiliki kembali seorang khalifah yang akan benar-benar menjadi perisai/pelindung mereka yang hakiki. Bukan yang sekadar pintar basa-basi. 

 

WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. []

 

—*—

 

Hikmah:

 

Rasulullah saw. bersabda:

 

أَوَّلُ الإِمَارَةِ مَلامَةٌ، وَثَانِيهَا نَدَامَةٌ، وَثَالِثُهَا عَذَابٌ مِنَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، إِلا مَنْ رَحِمَ وَعَدَلَ

 

Kekuasaan itu awalnya bisa mendatangkan cacian, kedua penyesalan dan ketiga azab dari Allah pada Hari Kiamat nanti; kecuali bagi yang berkuasa (memimpin) dengan dasar kasih-sayang dan keadilan. (HR ath-Thabarani).

MENJERNIHKAN PERSOALAN PALESTINA

MENJERNIHKAN PERSOALAN PALESTINA

Buletin Kaffah Edisi 317 (19 Rabiul Akhir 1445 H/03 November 2023 M)

 

Agresi brutal dan keji Zionis Yahudi terhadap rakyat Palestina semakin menjadi-jadi. Lebih dari 8.100 jiwa wafat dan lebih dari 20.242 orang terluka. Serangan entitas Yahudi kini merambah Tepi Barat yang telah merenggut korban jiwa 115 orang dan korban luka 2.150 orang.

 

Sejauh ini para pemimpin Dunia Islam masih membatu. Mereka hanya menjadi macan podium dan macan kertas. Menggertak di mimbar dengan omong besar, tetapi tidak melakukan tindakan nyata menghentikan agresi kaum Zionis.

 

Derita rakyat Palestina, khususnya kaum Muslim, semakin bertambah dengan bertebaran opini yang menyudutkan perjuangan dan nasib mereka. Banyak komentar dan pernyataan mengaburkan persoalan Palestina yang sebenarnya. Bahkan ada yang secara tega memfitnah para pejuang Islam.

 

Mengkriminalisasi Para Pejuang

 

Di media sosial sering dibangun narasi yang mengkriminalisasi gerakan perjuangan Hamas. Narasi tersebut menyebutkan bahwa penderitaan yang dialami rakyat Palestina hari ini akibat tindakan Hamas. Katanya, Hamaslah yang harusnya bertanggung jawab atas terbunuhnya ribuan warga Palestina, bukan kaum Zionis.

 

Opini ini sungguh sesat dan menyesatkan. Selain bertujuan mengkriminalisasi setiap gerakan perlawanan rakyat Palestina, terutama Hamas, mereka membangun narasi ini untuk melegalkan eksistensi entitas Yahudi yang mengklaim sebagai pemilik tanah Palestina. Tujuan berikutnya, agar dunia membenarkan agresi brutal Zionis Yahudi sebagai ”tindakan mempertahankan diri”. Apakah namanya ’mempertahankan diri’ bila yang diserang adalah rumah sakit, pasar, fasilitas umum dan mayoritas korbannya adalah anak-anak serta wanita?

 

Faktanya kaum Yahudi bukanlah warga asli Palestina. Mereka juga bukan pemilik lahan Palestina. Banyak sejarawan dan teolog di luar umat Muslim yang menunjukkan kedustaan klaim Yahudi dan Barat bahwa Palestina adalah ’tanah yang dijanjikan’. Pada bulan Oktober 2010 para uskup dari wilayah Timur Tengah berkumpul di Vatikan selama dua pekan. Mereka tak hentinya membahas masalah Israel-Palestina dilihat dari sisi Alkitab. Kesimpulan mereka, Israel tidak dapat menggunakan konsep Alkitab mengenai “tanah yang dijanjikan” atau “orang terpilih” untuk membenarkan pemukiman baru di Yerusalem atau membuat klaim teritorial (Republika.co.id, 25/10/2010).

 

Para pemimpin Barat, media massa mereka dan pengikutnya bermuka dua dengan menuduh perjuangan pembebasan Palestina sebagai aksi teror, sementara mereka mendukung sekutu mereka Ukraina melawan invasi Rusia. Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa juga menyuplai persenjataan dan bantuan keuangan untuk pemerintah Ukraina agar bisa menangkal serangan Rusia. Sementara dalam tindakan genosida terhadap rakyat Palestina, Barat terus menyudutkan perjuangan rakyat Palestina dan malah membantu Zionis Yahudi.

 

Karena itu fitnah Barat terhadap rakyat Palestina dan Hamas menunjukkan kemunafikan mereka dan para pendukungnya. Rakyat Palestina telah terusir puluhan tahun dari tanah kelahiran mereka, bahkan mengalami pembantaian demi pembantaian. Inilah kemunafikan dan kebohongan terbesar. Hanya orang tidak waras saja yang masih tetap mendukung penjajahan dan kekejaman Yahudi di tanah Palestina.

 

Sebaiknya Berhijrah?

 

Melihat bertahun-tahun penderitaan rakyat Palestina, ada sebagian orang yang beropini bahwa seharusnya kaum Muslim di Palestina berhijrah dari negeri mereka. Alasannya, dulu juga kaum Muslim tertindas di Makkah, lalu mereka berhijrah ke Madinah.

 

Ini adalah analogi yang batil dengan tiga alasan. Pertama: Islam telah memerintahkan kepada kaum Muslim untuk mempertahankan diri dari ancaman terhadap jiwa dan harta mereka. Abu Hurairah ra. bertutur bahwa pernah ada seorang lelaki yang bertanya kepada Nabi saw.:

 

يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ جَاءَ رَجُلٌ يُرِيدُ أَخْذَ مَالِى قَالَ : فَلاَ تُعْطِهِ مَالَكَ . قَالَ أَرَأَيْتَ إِنْ قَاتَلَنِى قَالَ : قَاتِلْهُ . قَالَ أَرَأَيْتَ إِنْ قَتَلَنِى قَالَ : فَأَنْتَ شَهِيدٌ . قَالَ أَرَأَيْتَ إِنْ قَتَلْتُهُ قَالَ : هُوَ فِى النَّارِ

 

“Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika ada seseorang yang mendatangiku dan ingin merampas hartaku?” Beliau bersabda, “Jangan engkau berikan milikmu kepada dia.” Ia bertanya lagi, “Bagaimana pendapatmu jika ia ingin membunuhku?” Beliau bersabda, “Bunuhlah dia.” Ia bertanya lagi, “Bagaimana jika dia malah membunuhku?” “Engkau mati syahid,” jawab Nabi saw. “Bagaimana jika aku yang membunuh dia?” Ia bertanya kembali. “Dia di Neraka,” jawab Nabi saw. (HR Muslim).

 

Pendapat itu juga batil karena bertentangan dengan perintah Allah SWT untuk berjihad melawan orang-orang yang menyerang dan mengusir kaum Muslim dari tempat tinggal mereka. Allah SWT berfirman:

 

وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ ثَقِفْتُمُوهُمْ وَأَخْرِجُوهُم مِّنْ حَيْثُ أَخْرَجُوكُمْ

 

Perangilah mereka di mana saja kalian menjumpai mereka dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kalian (TQS al-Baqarah [2]: 191).

 

Kedua: Syariah Islam telah mewajibkan sesama Muslim untuk saling memberikan bantuan kepada saudaranya yang membutuhkan pertolongan. Ketika kaum Muslim di satu negeri tidak cukup kuat untuk mengusir kaum agresor, maka kewajiban berjihad ini meluas ke wilayah-wilayah sekitarnya. Karena itu wajib atas umat Muslim di sekitar Palestina mengerahkan pasukan untuk mengusir entitas Yahudi hingga tuntas. Allah SWT berfirman:

 

وَإِنْ اسْتَنْصُرُوْكُمْ فِي الدِّيْنِ فَعَلَيْكُمْ النَّصْرُ

 

Jika mereka meminta pertolongan kepada kalian dalam urusan agama ini maka kalian wajib menolong mereka (TQS al-Anfal [8]: 72).

 

Ketiga: Hijrah yang diwajibkan atas umat ini adalah berpindah dari negara kufur (darul kufur) menuju Negara Islam (Darul Islam). Ini sebagaimana dulu Rasulullah saw. dan kaum Muslim berhijrah dari Makkah yang kala itu adalah darul kufur menuju ke Madinah yang kemudian menjadi Negara Islam (Darul Islam). 

 

Adapun hari ini tidak ada satu pun di antara negeri-negeri Islam yang bisa dikategorikan sebagai Darul Islam, yakni negara yang menerapkan syariah Islam secara kâffah dan keamanannya di tangan kaum Muslim. Negeri-negeri Muslim hari ini adalah institusi politik yang menjalankan ideologi sekularisme-liberalisme dan berwatak kebangsaan/nasionalisme serta hanya sedikit menjalankan hukum-hukum Islam. Mesir, misalnya, bertahun-tahun menutup gerbang Rafah sehingga menghambat pengiriman bantuan ke wilayah Gaza. Yordania justru membuka jalan bagi masuknya militer Amerika Serikat yang membantu entitas Yahudi melancarkan agresi militernya ke Palestina.

 

Palestina Persoalan Agama

 

Syubhat lain yang terus diproduksi dalam tragedi Palestina adalah menyebutkan ini bukanlah persoalan agama, tetapi persoalan kemanusiaan. Alasannya, bukan hanya warga Muslim yang menjadi korban. Umat Nasrani Palestina juga menjadi sasaran kekejaman Zionis Yahudi.

 

Bagi kita, umat Muslim, persoalan Palestina adalah persoalan agama, bukan sekadar persoalan kemanusiaan. Banyak alasan mengapa kaum Muslim harus memandang dan menyelesaikan krisis Palestina sesuai syariah Islam. Di antaranya, mayoritas korban genosida oleh entitas Yahudi adalah saudara seiman. Harta dan jiwa mereka terancam bahkan dibunuh oleh kaum Yahudi penjajah. Lalu bagaimana kita tidak mengatakan ini bukan persoalan agama. Padahal Allah SWT telah berfirman:

 

إِنَّمَا الْمًؤْمِنُوْنَ إِخْوَةٌ 

 

Sungguh kaum Mukmin itu bersaudara (QS al-Hujurat [49]: 10).

 

Kemudian Nabi saw. mengingatkan hubungan kasih-sayang sesama Muslim laksana satu tubuh yang harus saling merasakan penderitaan satu sama lain. Sabda beliau:

 

مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ، مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى

 

Perumpamaan kaum Mukmin dalam hal saling mencintai, saling menyayangi dan bahu-membahu adalah seperti satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuh sakit maka seluruh anggota tubuh yang lain ikut merasakan sakit juga, dengan tidak bisa tidur dan demam (HR al-Bukhari).

 

Selanjutnya, tanah Palestina sudah menjadi bagian dari wilayah kaum Muslim sejak era Kekhilafahan Umar bin Khaththab ra. Beliau telah menandatangani perjanjian dengan Pendeta Sofronius untuk melindungi Palestina dari kehadiran satu orang Yahudi pun di Yerusalem. Permintaan ini datang dari kaum Nasrani Yerusalem karena sudah merasakan kekejaman Yahudi. Mereka lalu meminta kepada Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. untuk mengusir mereka dari Yerusalem. Permintaan ini disepakati oleh beliau. Perjanjian ini masih terus mengikat kaum Muslim sampai Hari Kiamat. Ini sesuai dengan perintah Allah SWT:

 

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَوۡفُواْ بِٱلۡعُقُودِ 

 

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu (TQS Al-Maidah [5]: 1).

 

Nabi Muhammad saw. juga telah mengingatkan umat ini untuk menjaga perjanjian-perjanjian mereka:

 

وَالْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوْطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا

 

Kaum Muslim harus memenuhi syarat-syarat yang telah mereka sepakati, kecuali syarat yang mengharamkan suatu yang halal atau menghalalkan suatu yang haram (HR al-Bukhari).

 

Alhasil, janganlah kita tertipu dengan narasi dan opini yang menjauhkan kita dari agama Allah. Tidak pantas pula kita berulang terpedaya oleh tipudaya Barat yang menginginkan krisis Palestina dikembalikan pada PBB. Itu hakikatnya sama dengan menyerahkan nyawa saudara kita seiman untuk kembali dijagal oleh Zionis Yahudi. Sungguh, hanya dengan jihad dan Khilafah persoalan Palestina akan tuntas.

 

WalLâhu a’lam. []

 

—*—

 

Hikmah:

 

Allah SWT berfirman:

 

وَإِن تُطِعۡ أَكۡثَرَ مَن فِي ٱلۡأَرۡضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِۚ إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا ٱلظَّنَّ وَإِنۡ هُمۡ إِلَّا يَخۡرُصُونَ

 

Jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka dan mereka tidak lain hanyalah berdusta. (TQS al-An’am [6]: 116). []

MEWUJUDKAN PERISAI UMAT

MEWUJUDKAN PERISAI UMAT

Buletin Kaffah Edisi 316 (12 Rabiul Akhir 1445 H/27 Oktober 2023 M)

 

SAMPAI saat ini, sudah ribuan kaum Muslim di Gaza Palestina dibantai secara keji oleh Zionis Yahudi. Di media sosial berseliweran foto-foto dan video-video mengerikan ribuan korban yang berjatuhan. Termasuk foto-foto dan video-video anak-anak dan bayi-bayi yang amat menyayat hati. Banyak yang terluka parah, kepala pecah dan wajah berlumuran darah. Banyak yang kakinya putus dan tangannya lepas dari tubuhnya. Beberapa bayi bahkan kepalanya terlepas dari badannya. Semua akibat bom-bom yang dijatuhkan secara membabi-buta dan tanpa henti oleh Zionis Yahudi di Gaza sejak lebih dari dua pekan lalu. 

 

Pemimpin Dunia Kembali Bungkam

 

Menyaksikan pembantaian keji atas umat Islam untuk ke sekian kalinya, para pemimpin dunia kembali bungkam. Hanya sedikit yang bersuara. PBB dan lembaga-lembaga HAM dunia juga lebih banyak diam. Demikian pula para penguasa Muslim. Mereka seolah-olah buta dan tuli. Padahal jelas Allah SWT telah berfirman:

 

مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا

 

Siapa saja yang membunuh satu orang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh seluruh manusia (TQS al-Maidah [5]: 32).

 

Apalagi jika yang terbunuh adalah seorang Muslim. Ini jauh lebih dahsyat dibandingkan dengan kehancuran dunia ini. Demikian sebagaimana sabda Rasulullah saw.:

 

لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عِنْدَ اللهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِم

 

Kehancuran dunia ini lebih ringan di sisi Allah dibandingkan dengan pembunuhan seorang Muslim (HR at-Tirmidzi dan an-Nasa’i).

 

Karena itulah, ketika ada seorang pedagang Muslim yang dibunuh beramai-ramai oleh kaum Yahudi Bani Qainuqa, karena membela kehormatan seorang Muslimah yang dilecehkan oleh pedagang Yahudi, Rasulullah saw., sebagai kepala Negara Islam, segera mengirim para Sahabat untuk memerangi mereka dan mengusir mereka dari Madinah setelah mengepung perkampungan mereka selama 15 malam (Sîrah Ibnu Hisyâm, 3/9-11).

 

Korban ‘Ashabiyyah!

 

Tragedi Gaza hanyalah pengulangan belaka dari ratusan bahkan ribuan tragedi yang menimpa umat Islam di sejumlah negara di seluruh dunia. Pertanyaannya: Mengapa para penguasa Muslim dan Arab tidak bergerak sedikit pun untuk membela warga Palestina, khususnya Gaza? Mengapa mereka tidak segera mengirimkan ratusan ribu tentaranya untuk menggempur pasukan Zionis Yahudi? 

 

Jawabannya: Pertama, inilah dampak buruk sikap ‘ashabiyyah dalam wujud nasionalisme. Akibatnya, para penguasa Muslim hanya mementingkan negeri mereka masing-masing. Mereka tak peduli atas tragedi yang terjadi di Palestina, juga di sejumlah negeri Muslim lainnya. 

 

Betapa buruk ‘ashabiyyah dalam wujud nasionalisme ini diakui juga sejak dulu oleh Letnan Jenderal Sir John Glubb (‘Glubb Pasha’), yang pernah memimpin ‘Arab Legion’ (1938-1956). Sebagaimana dinukil dalam Buku The Changing Scenes of Life-An Autobiography: Sir John Glubb (Quartet Books, hlm. 54), dia tegas menyatakan, “Nasionalisme adalah satu kecelakaan (bagi Dunia Islam, pen.) yang sengaja dibawa masuk dari Eropa.” 

 

Palestina secara tidak langsung adalah korban pertama dari buruknya nasionalisme (juga nation-state) ini di Dunia Islam. Pasalnya, sejak wilayahnya dicaplok oleh Yahudi tahun 1948 hingga kini, kaum Muslim Palestina nyaris berjuang sendirian. Para penguasa negara-negara Arab yang berada di sekelilingnya seolah bergeming. Diam saja. Enggan melakukan pembelaan. Padahal sudah tak terhitung darah kaum Muslim Palestina ditumpahkan oleh Zionis Yahudi sejak 75 tahun lalu. 

 

Kedua, kebanyakan para penguasa Muslim dan Arab adalah antek Barat, khususnya AS. Wajar jika mereka cenderung membiarkan—bahkan mendukung—kebijakan tuan-tuan mereka meski jelas-jelas dalam rangka membunuhi kaum Muslim di berbagai negeri Islam, khususnya di Palestina. Sejauh ini mereka hanya pandai mengecam dan mengutuk. Sebagian lagi diam seribu bahasa. Ini karena banyak penguasa Arab, termasuk Turki, telah lama menjalin hubungan kerja sama bahkan hubungan diplomatik dengan Zionis Yahudi, yang notabene salah satu alat Amerika di Timur Tengah. 

 

Wajib Membela Sesama kaum Muslim!

 

Kaum Muslim itu bersaudara. Mereka dipersaudarakan karena kesamaan akidah. Karena itu persaudaraan mereka melampaui batas-batas negara. Allah SWT berfirman: 

 

إِنَّمَا الْمًؤْمِنُوْنَ إِخْوَةٌ 

 

Sungguh kaum Mukmin itu bersaudara (QS al-Hujurat [49]: 10).

 

Karena bersaudara wajar jika mereka saling mencintai. Inilah yang diperintahkan oleh Rasulullah saw.:

 

لاَ تَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلاَ تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا

 

Kalian tidak masuk surga hingga kalian beriman dan belum sempurna keimanan kalian hingga kalian saling mencintai (HR Muslim). 

 

Karena bersaudara pula kaum Muslim tak boleh saling membiarkan saudaranya terzalimi. Mereka harus saling membela. Rasulullah saw. bersabda, “Muslim itu saudara bagi Muslim lainnya. Dia tidak layak menzalimi dan menyerahkan saudaranya kepada musuh.” (HR al-Bukhari dan Muslim). 

 

Wujud pembelaan terhadap sesama kaum Muslim di antaranya dengan melancarkan jihad manakala saudara mereka atau negeri mereka di mana pun diserang oleh orang-orang atau negara kafir. Contohnya adalah kaum Muslim Palestina yang dijajah Israel, dengan dukungan AS dan negara-negara Barat. Allah SWT berfirman:

 

وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ 

 

Perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kalian (TQS al-Baqarah 190).

 

Serangan atas sebagian kaum Muslim pada hakikatnya merupakan serangan terhadap seluruh kaum Muslim di seluruh dunia. Karena itu upaya membela kaum Muslim di Palestina, misalnya, juga merupakan kewajiban kaum Muslim di seluruh dunia. Allah SWT berfirman:

 

وَإِنْ اسْتَنْصُرُوْكُمْ فِي الدِّيْنِ فَعَلَيْكُمْ النَّصْرُ

 

Jika mereka meminta pertolongan kepada kalian dalam urusan agama ini maka kalian wajib menolong mereka (TQS al-Anfal [8]: 72).

 

Jihad Amalan Utama

 

Selain wajib, jihad—termasuk untuk membela sesama kaum Muslim di Palestina (juga di manapun kaum Muslim dijajah dan diperangi)—adalah amalan utama. Allah SWT, antara lain, berfirman:

 

إِنَّ اللهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ

 

Sungguh Allah telah membeli dari orang-orang Mukmin, diri dan harta mereka, dengan bayaran surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh (TQS at-Taubah [9]: 111).

 

Keutamaan amalan jihad pun dinyatakan oleh Rasulullah saw. Di antaranya sebagaimana sabda beliau: 

 

مَوْقِفٌ سَاعَةً فِي سَبِيل اللهِ خَيْرٌ مِنْ قِيَامِ لَيْلَةِ الْقَدْرِ عِنْدَ الْحَجَرِ الْأَسْوَدْ

 

Berjaga-jaga satu jam di medan jihad fi sabilillah adalah lebih baik daripada menghidupkan Lailatul Qadar di dekat Hajar Aswad (HR Ibnu Hibban dan al-Baihaqi).

 

Karena itu sudah selayaknya kaum Muslim, khususnya para tentara mereka, merindukan jihad fi sabilillah. Saat ini kesempatan untuk meraih keutamaan jihad itu terpampang jelas di depan mata, di Bumi Palestina.

 

Umat Butuh Khilafah!

 

Namun sayang, karena faktor nasionalisme (juga nation-state) sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, tak mudah bagi kaum Muslim, khususnya tentara mereka, bahkan di negeri-negeri Arab sekalipun, untuk berjihad di Bumi Palestina. Karena itu kaum Muslim sedunia sejatinya membutuhkan Khilafah yang dipimpin oleh seorang khalifah. Sebabnya jelas, sebagaimana sabda Rasulullah saw.:

 

إِنَّمَا الإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ

 

Imam (Khalifah) itu laksana perisai; kaum Muslim berperang di belakang dia dan dilindungi oleh dirinya (HR Muslim).

 

Apa yang disabdakan Rasulullah saw. di atas dibuktikan dalam sejarah antara lain oleh Khalifah Al-Mu’tashim Billah. Al-Qalqasyandi dalam kitabnya, Ma’âtsir al-Inâfah, menjelaskan salah satu sebab penaklukan Kota Amuriah—kota terpenting bagi imperium Romawi saat itu, selain Konstantinopel—pada tanggal 17 Ramadhan 223 H. Diceritakan bahwa penguasa Amuriah yang kafir telah menawan wanita mulia keturunan Fathimah ra. Wanita itu disiksa dan dinistakan hingga berteriak dan menjerit meminta pertolongan. 

 

Menurut Ibn Khalikan dalam Wafiyah al-A’yan, juga Ibn al-Atsir dalam Al-Kâmil fî at-Târîkh, berita penawanan wanita mulia itu sampai ke telinga Khalifah Al-Mu’tashim Billah. Tak berpikir lama, Khalifah Al-Mu’tashim Billah segera mengerahkan sekaligus memimpin sendiri puluhan ribu pasukan kaum Muslim menuju Kota Amuriyah. Terjadilah peperangan sengit. Kota Amuriyah pun berhasil ditaklukkan. Pasukan Romawi bisa dilumpuhkan. Sekitar 30 ribu tentaranya berhasil dibunuh. Sebanyak 30 ribu lainnya ditawan oleh pasukan kaum Muslim. Khalifah pun berhasil membebaskan wanita mulia tersebut. 

 

Alhasil, sekali lagi, kaum Muslim sedunia memang butuh seorang khalifah sebagai perisai mereka. Semoga saja umat Islam di seluruh dunia segera memiliki Khilafah, yang dipimpin oleh seorang khalifah pemberani yang mengayomi, seperti Khalifah Al-Mu’tashim Billah. Khalifahlah yang akan menaklukkan Amerika, Eropa, Rusia, Cina juga Zionis Yahudi/Israel. Khalifah pula yang akan menyatukan berbagai negeri Islam, menjaga kehormatan kaum Muslim dan menolong kaum tertindas di manapun. 

 

Insya Allah, masa yang mulia itu akan segera tiba. Sebabnya, hal itu memang telah di-nubuwwah-kan oleh Rasulullah saw.:

 

ثُمّ تَكُوْنُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ

 

Kemudian akan datang kembali masa Khilafah yang mengikuti metode kenabian… (HR Ahmad). 

 

Hanya saja, kabar gembira dari Rasulullah saw. ini tak cukup disambut dengan sukacita, namun harus diperjuangkan dengan penuh kesungguhan dan pengorbanan oleh seluruh kaum Muslim sedunia, termasuk di Indonesia. Tentu agar Khilafah yang telah Rasulullah saw. janjikan segera mewujud dalam kenyataan.

 

WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. []

 

—*—

 

Hikmah:

 

Rasulullah saw. bersabda:

 

مَنْ أُذِلَّ عِنْدَهُ مُؤْمِنٌ، فَلَمْ يَنْصُرْهُ، وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ يَنْصُرَهُ أَذَلَّهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى رُؤُوْسٍ الْخَلاَئِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

 

Siapa saja yang menyaksikan seorang Mukmin dihinakan di hadapannya, tetapi dia tidak menolong Mukmin tersebut, padahal dia mampu, Allah pasti akan menghinakan dirinya di hadapan seluruh makhluk-Nya pada Hari Kiamat. (HR Ahmad). []

HANYA DENGAN KHILAFAH DAN JIHAD PALESTINA DAPAT DIBEBASKAN

HANYA DENGAN KHILAFAH DAN JIHAD PALESTINA DAPAT DIBEBASKAN

Buletin Kaffah Edisi 315 (05 Rabiul Akhir 1445 H/20 Oktober 2023 M)

 

Palestina makin menderita. Entitas Yahudi terus melancarkan serangan balasan membabi-buta. Bukan saja terhadap pejuang Palestina, tetapi juga warga sipil, anak-anak, perempuan, tenaga medis, juga jurnalis. Bahkan rombongan pengungsi pun dihadang serangan brutal militer. Sampai tanggal 15 Oktober kemarin, Kementerian Kesehatan melaporkan jumlah korban tewas di Gaza mencapai 2.450 jiwa. Termasuk 724 di antaranya anak-anak. Korban luka-luka 9.200 orang. 

 

Jumlah bom yang dijatuhkan kaum agresor Yahudi mencapai 6 ribu bom dengan total berat 4 ribu ton. Militer Israel juga menggunakan bom fosfor putih. Bom tersebut sesungguhnya telah dilarang penggunaannya di medan perang karena efek merusaknya yang dahsyat pada korban.

 

Penderitaan warga Palestina semakin bertambah dengan hancurnya fasilitas air bersih, adanya pemadaman listrik dan pemutusan hubungan internet oleh kaum Yahudi. Mereka membunuhi warga Palestina, terutama kaum Muslim. Namun, mereka juga berusaha rapat-rapat menutup kekejaman yang mereka lakukan. Lalu mereka menyebarkan hoaks kekejaman pasukan HAMAS yang sama sekali tidak terbukti.

 

Agresor dan Penjajah

 

Klaim kaum Yahudi dibantu Barat yang selalu menyatakan bahwa apa yang mereka lakukan selama ini terhadap bangsa Arab, khususnya penduduk Palestina, sebagai ’self defense’ (membela diri) adalah kebohongan. Nyatanya setiap hari mereka melakukan penggusuran, pengusiran dan pembunuhan terhadap rakyat Palestina. Termasuk membunuhi wanita, lansia dan anak-anak.

 

Klaim mereka sebagai penduduk asli tanah Palestina dan pemilik tanah yang dijanjikan Tuhan juga dusta besar. Pernyataan itu sesungguhnya adalah kedustaan yang dikarang oleh pendiri negara Yahudi, Theodor Herzl. Hakikatnya mereka adalah agresor keji. Tak ada satu pun ayat dalam kitab suci terdahulu, apalagi dalam al-Quran, yang menyatakan Palestina sebagai tanah yang dijanjikan Tuhan untuk mereka.

 

Kaum Zionis Yahudi mendapatkan tanah Palestina lewat bantuan Inggris dan Prancis melalui Perjanjian Sykes-Picot. Kedua negara tersebut mendukung pembentukan negara Yahudi di tanah Palestina. Kedua negara ini bersekongkol untuk menyembelih Khilafah Utsmaniyah. Mereka lalu menjadikan tanah air kaum Muslim, termasuk tanah Palestina, sebagai harta rampasan mereka.

 

Mengapa Harus Jihad?

 

Ada tiga alasan mengapa solusi pembebasan Palestina hanya bisa dilakukan dengan jihad fi sabilillah. Pertama: Siapapun yang masih waras akan melihat kemustahilan mengakhiri penjajahan Zionis Yahudi lewat jalur politik. Berbagai perundingan yang dilakukan oleh negara-negara Barat, termasuk PBB, dengan otoritas Palestina dan kaum Yahudi penjajah tidak memberikan keuntungan apa-apa bagi warga Palestina. Malah wilayah Palestina makin terus dicaplok oleh kaum Zionis, sementara dunia mendiamkan hal itu.

 

Berbagai kutukan dan resolusi PBB, termasuk kecaman dari para pemimpin Dunia Islam, juga tidak berpengaruh apapun terhadap kaum Yahudi. Badan Hak Asasi Manusia PBB (UNHCR) sejak tahun 2006 sudah mengeluarkan 45 resolusi menentang kaum Yahudi. Namun, tak ada satu pun yang digubris. 

 

Kedua: Islam telah mengharamkan berdamai dan bersahabat dengan entitas yang memerangi kaum Muslim. Karena itu apapun bentuk perdamaiannya, apalagi solusi dua negara yang ditawarkan Barat, adalah haram. Allah SWT berfirman:

 

إِنَّمَا يَنۡهَىٰكُمُ ٱللَّهُ عَنِ ٱلَّذِينَ قَٰتَلُوكُمۡ فِي ٱلدِّينِ وَأَخۡرَجُوكُم مِّن دِيَٰرِكُمۡ وَظَٰهَرُواْ عَلَىٰٓ إِخۡرَاجِكُمۡ أَن تَوَلَّوۡهُمۡۚ وَمَن يَتَوَلَّهُمۡ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ 

 

Sungguh Allah telah melarang kalian menjadikan sebagai kawan kalian orang-orang yang memerangi kalian karena agama, mengusir kalian dari negeri kalian, dan membantu (orang lain) untuk mengusir kalian. Siapa saja yang menjadikan mereka sebagai kawan, mereka itulah kaum yang zalim (TQS al-Mumtahanah [60]: 9).

 

Ketiga: Syariah Islam telah mewajibkan jihad fi sabilillah atas kaum Muslim ketika mereka diperangi musuh. Allah SWT berfirman:

 

فَمَنِ اعْتَدَىٰ عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَىٰ عَلَيْكُمْ 

 

Siapa saja yang menyerang kalian, seranglah dia seimbang dengan serangannya terhadap kalian (TQS al-Baqarah [2]: 194).

 

Allah SWT juga memerintahkan untuk mengusir siapapun yang telah mengusir kaum Muslim:

 

وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ ثَقِفْتُمُوهُمْ وَأَخْرِجُوهُم مِّنْ حَيْثُ أَخْرَجُوكُمْ

 

Perangilah mereka di mana saja kalian menjumpai mereka dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kalian (TQS al-Baqarah [2]: 191).

 

Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahulLâh dalam kitab Asy-Syakhsiyyah al-Islâmiyyah Jilid 2 menyatakan bahwa jihad adalah fardhu ’ain jika kaum Muslim diserang oleh musuh. Fardhu ain ini bukan hanya berlaku untuk Muslim Palestina, tetapi juga bisa meluas bagi kaum Muslim di sekitar wilayah Palestina jika agresi musuh tidak bisa dihadang warga setempat.

 

Ini juga sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Said bin Ali Wahf al-Qahthani dalam kitab Al-Jihâd fî SabîlilLâh: ”Jika musuh telah memasuki salah satu negeri kaum Muslim maka fardhu ’ain atas penduduk negeri tersebut untuk memerangi musuh dan mengusir mereka. Juga wajib atas kaum Muslim untuk menolong negeri itu jika penduduknya tidak mampu mengusir musuh. Hal itu dimulai dari yang terdekat kemudian yang terdekat.” (Al-Qahthani, Al-Jihâd fî SabîlilLâh Ta’âla, hlm. 7, Maktabah Syamilah).

 

Berdasarkan hukum ini, wajib bagi kaum Muslim di wilayah terdekat Palestina seperti Yordania, Mesir, Libanon dan Suriah untuk mengirimkan pasukan untuk mengusir kaum Yahudi sampai mereka benar-benar terusir dari sana. Haram bagi mereka berdiam diri atau hanya sekadar mengecam.

 

Karena itu jihad adalah solusi bagi agresi Zionis Yahudi atas tanah Palestina. Hal itu sesungguhnya sangat mudah. Pasalnya, kekuatan militer negeri-negeri Muslim seperti Mesir, Suriah dan Yordania secara perhitungan jauh di atas kekuatan militer kaum Yahudi. Sebagai perbandingan, Pasukan Pertahanan Yahudi (IDF) hanya berjumlah 169.500 orang, 1.300 tank. Adapun kekuatan militer Mesir adalah 450.000 personel militer aktif, dengan tank perang 2,16 ribu dan 5,7 ribu kendaraan perang. Apalagi jika negeri-negeri Muslim lainnya bersatu. Dengan izin Allah, kekuatan entitas Yahudi akan hancur-lebur.

 

Mengapa Harus Khilafah?

 

Melihat realitas politik hari ini, tidak mungkin kaum Muslim mengharapkan pihak lain, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), untuk menolong mereka. Justru PBB juga terlibat dalam kelahiran dan pengakuan negara Yahudi tersebut. Mustahil pula meminta bantuan kepada negara-negara Barat karena mereka, baik AS maupun Uni Eropa, mendukung kaum Yahudi penjajah. Amerika Serikat akan mengerahkan bantuan militer saat ini. Secara rutin mereka pun setiap tahun menggelontorkan USD3,8 miliar (lebih dari Rp 54 triliun) untuk keperluan militer kaum Yahudi.

 

Tampak bahwa entitas Yahudi ini menjadi kuat karena disokong oleh kekuatan besar. Karena itu sudah seharusnya Palestina pun didukung oleh kekuatan besar kaum Muslim. Jika Barat yang kafir bersatu membela entitas Yahudi, mengapa para pemimpin Dunia Islam hanya diam dan mengoceh belaka? Seolah-olah mereka tidak pernah membaca firman Allah SWT:

 

وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ ثَقِفْتُمُوهُمْ وَأَخْرِجُوهُمْ مِنْ حَيْثُ أَخْرَجُوكُمْ 

 

Perangilah mereka di mana saja kalian menjumpai mereka dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kalian (TQS al-Baqarah [2]: 191).

 

Oleh sebab itu, Palestina hanya bisa dibebaskan jika Khilafah berdiri untuk melindungi tanah yang Allah berkahi tersebut. Khilafah pun akan mengusir para penjajah dari Dunia Islam. Dulu Palestina juga masuk ke dalam pelukan dan perlindungan kaum Muslim pada masa Kekhilafahan Umar bin al-Khaththab ra. Saat itu Amirul Mukminin Umar bin al-Khaththab ra. menandatangani Perjanjian Umariyah bersama Uskup Yerusalem Sofronius. Di antara klausulnya adalah tidak mengizinkan seorang Yahudi pun tinggal di tanah Palestina.

 

Pada masa Rasulullah saw., kaum Yahudi di Madinah juga terusir dari Madinah setelah mereka melakukan pengkhianatan terhadap Negara Islam dan kaum Muslim. Kaum Yahudi Bani Qainuqa diperangi dan diusir oleh Rasulullah saw. setelah mereka melecehkan kehormatan seorang Muslimah dan membunuh seorang laki-laki pedagang Muslim yang membela muslimah tersebut. Yahudi Bani Quraizhah diperangi oleh kaum Muslim setelah mereka bersekongkol dengan kaum musyrik Quraisy untuk membunuh Nabi saw. pada Perang Ahzab.

 

Khilafah pula yang membentengi Palestina untuk terakhir kali dari tipudaya gembong Yahudi Theodor Herzl yang merayu Khalifah Sultan Abdul Hamid II. Kala itu Herzl mencoba menyogok Khalifah dengan uang yang sangat banyak dan berjanji akan melunasi utang-utang Khilafah Utsmaniyah. Namun, harga diri dan ghirah Islam Sultan Abdul Hamid II amat tinggi. Ia menolak tawaran itu bahkan meludahi Herzl.

 

Karena itulah eksistensi Khilafah Islamiyah adalah vital dan wajib bagi kaum Muslim karena ia akan menjadi pelindung umat. Khilafah adalah perisai yang akan melindungi umat sehingga mereka merasa aman dan nyaman. Dengan Khilafah, harta, darah dan jiwa umat tidak akan tumpah sia-sia. Akan ada pembelaan dan pembalasan untuk itu semua.

 

WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. []

 

—*—

 

Hikmah: 

 

Nabi Muhammad saw. bersabda:

 

إِنَّمَا ‌الْإِمَامُ جُنَّةٌ، ‌يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ، وَيُتَّقَى بِهِ

 

Sungguh Imam (Khalifah) itu laksana perisai; orang-orang akan berperang di belakang dia dan menjadikan dia sebagai pelindung (mereka). (HR Muslim). []

ISRA MIKRAJ, KEWAJIBAN SHALAT DAN PENERAPAN SYARIAH SECARA KAFFAH

ISRA MIKRAJ, KEWAJIBAN SHALAT DAN PENERAPAN SYARIAH SECARA KAFFAH

Peristiwa Isra dan Mikraj Nabi Muhammad saw. sangat sarat dengan makna, mengandung banyak sekali hikmah dan memberikan banyak hukum. Di antaranya, dalam Isra Mikraj itulah disyariatkan kewajiban shalat lima waktu.

Shalat: Amal yang Utama

Imam Ibnu Katsir rahimahulLâh menjelaskan, “Pada malam Isra Mikraj (sekira) satu setengah tahun sebelum hijrah, Allah SWT memfardhukan kepada Rasul-Nya saw. shalat lima waktu. Setelah itu Allah SWT merinci syarat-syarat dan rukun-rukunnya serta apa saja yang berkaitan dengan shalat, secara berangsur-angsur…” (Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur`ân al-Azhîm, 7/164).

Rasulullah saw. menceritakan secara detil peristiwa Isra Mikraj dalam hadis yang panjang. Anas bin Malik dan Ibnu Hazm menuturkan bahwa Rasul saw. telah bersabda: “…Allah memfardhukan atas umatku 50 shalat. Aku kembali dengan perintah itu sampai aku melewati Nabi Musa. Lalu ia bertanya, “Apa yang Allah wajibkan kepada umatmu?” Aku jawab, “Allah mewajibkan 50 shalat.” Musa berkata, “Kembalilah kepada Rabb-mu karena umatmu tidak akan kuat menunaikan perintah itu.” Lalu aku kembali dan Allah menghapuskan separuhnya. Aku pun kembali kepada Musa dan berkata, “Allah telah menghapuskan separuhnya.” Musa berkata lagi, “Kembalilah kepada Rabb-mu karena umatmu tidak akan kuat menunaikan perintah itu.” Lalu aku kembali dan Allah menghapuskan separuhnya lagi. Aku pun kembali kepada Musa. Musa berkata lagi, “Kembalilah kepada Rabb-mu karena umatmu tidak akan kuat menunaikan perintah itu.” Lalu aku kembali dan Allah berkata, “Shalat itu lima (waktu) dan dinilai lima puluh (pahalanya) dan perkataan-Ku tidak akan berganti.” Aku kembali lagi kepada Musa. Musa berkata lagi, “Kembalilah kepada Rabb-mu.” Namun, aku berkata, “Aku sudah malu kepada Rabb-ku.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Rincian tersebut juga diriwayatkan oleh Anas bi Malik dari Malik bin Shashaah (Lihat: Al-Bukhari no. 3887, an-Nasai no. 447, Ahmad no. 17987, 17989 dan lainnya).

Allah SWT memposisikan kewajiban shalat lima waktu secara khusus. Allah SWT menurunkan kewajiban itu pada malam saat mikraj Nabi saw. Allah SWT pun menempatkan shalat sebagai amal yang dihisab paling awal. Jika shalat fardhu seseorang ada kekurangan maka akan dilengkapi dengan pahala shalat sunnahnya hingga sempurna. Amal-amal lainnya dihisab menurut kaidah ini. Hal itu sesuai dengan apa yang dituturkan oleh Abu Hurairah ra. dari Nabi saw., seperti yang diriwayatkan oleh Ashhâb as-Sunan.

Bahkan, sebagaimana penuturan Anas bin Malik, Rasul saw. menjelaskan:

«أَوَّلُ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الصَّلَاةُ، فَإِنْ صَلَحَتْ صَلَحَ لَهُ سَائِرُ عَمَلِهِ، وَإِنْ فَسَدَتْ فَسَدَ سَائِرُ عَمَلِهِ»
Yang pertama dihisab dari hamba Allah pada Hari Kiamat adalah shalat. Jika shalatnya baik maka baik pula seluruh amalnya. Jika shalatnya rusak maka rusak pula seluruh amalnya (HR ath-Thabarani).

Shalat Mencegah Perbuatan Keji dan Mungkar

Baik-buruknya shalat seseorang bisa mempengaruhi baik-buruknya amal-amal lainnya. Pasalnya, di antara hikmah pelaksanaan shalat lima waktu adalah mencegah pelakunya dari perbuatan al-fahsyâ` dan al-munkar. Al-Fahsyâ` adalah sesuatu yang sangat dicela oleh syariat. Al-Munkar adalah apa yang tidak dimakrufkan oleh syariah, artinya sesuatu itu diingkari oleh syariah. Bisa juga dimaknai, al-fahsyâ` adalah dosa-dosa besar, sedangkan al-munkar adalah segala bentuk kemungkaran, yakni segala bentuk kemaksiatan secara umum.

Allah SWT berfirman:

﴿…وَأَقِمِ الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ﴾
…Dirikanlah shalat. Sungguh shalat itu mencegah dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar. Sungguh mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Allah mengetahui apa yang kalian kerjakan (TQS al-Ankabut [29]: 45).

Imam asy-Syaukani dalam Fath al-Qadîr menjelaskan, “Maknanya, tegakkanlah shalat dan terus tunaikan shalat itu seperti yang diperintahkan… Lalu dinyatakan: Sungguh shalat itu mencegah dari al-fahsyâ` dan al-munkar. Ini merupakan alasan untuk perintah sebelumnya. Al-Fahsyâ` adalah amal yang dicela. Al-Munkar adalah apa yang tidak dimakrufkan dalam syariah, yakni perkara yang dilarang oleh syariah berupa kemaksiatan kepada Allah. Dalam hal ini, shalat menjauhkan semua itu. Mencegah perbuatan keji dan mungkar bermakna bahwa pelaksanaan shalat itulah yang menjadi sebabnya. Yang dimaksud di sini adalah shalat-shalat fardhu.”

Imam al-Baihaqi mengatakan, “Shalat mencegah dari al-fahsyâ` dan al-munkar. Tercegah dari al-fahsyâ` dan al-munkar itu merupakan bagian dari takwa. Hal ini karena siapa saja yang Allah jadikan shalat itu dia cintai, Allah beri dia taufik serta Allah tundukkan anggota-anggota tubuhnya dan lahiriahnya, maka dia akan tercegah dari kekejian dan kemungkaran.” (Al-Baihaqi, Syuab al-Iman, 3/287).

Imam al-Badhawi di dalam Anwâr at-Tanîl wa Asrâru at-Ta`wîl menjelaskan, shalat itu menjadi sebab bagi pelakunya untuk berhenti (tercegah) dari kemaksiatan manakala ia menyibukkan diri dengan shalat. Hal ini karena shalat mengingatkan pelakunya kepada Allah dan mewariskan pada jiwanya rasa takut dari (azab)-Nya.

Dengan demikian shalat itu harus bisa menyuruh kemakrufan kepada pelakunya dan mencegah dia dari kemungkaran. Dalam hal ini Ibnu Abbas dan Ibnu Masud ra. mengingatkan:

مَنْ لَمْ تَأْمُرْهُ صَلاتُهُ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَهُ عَنِ الْمُنْكَرِ لَمْ يَزْدَدْ مِنَ اللَّهِ إِلا بُعْدًا
Siapa yang shalatnya tidak menyuruh kemakrufan kepada pelakunya dan tidak mencegah dia dari kemungkaran maka tidak menambah bagi dirinya kecuali semakin jauh dari Allah (HR Ibnu Jarir dalam Tafsîr-nya, ath-Thabarani dalam Mujam al-Kabîr, al-Baihaqi dalam Syuab al-Iman).

Dengan demikian shalat yang ditunaikan dengan baik sesuai dengan ketentuan syariah akan membuat Muslim yang menunaikannya menjadi sosok yang menaati syariah-Nya. Dia akan bersegera melaksanakan apa yang Allah perintahkan serta menjauhi kemaksiatan dan kemungkaran. Dia akan gemar memerintahkan yang makruf dan mencegah yang mungkar. Dia pun akan membenci kemungkaran. Bahkan dia senantiasa berusaha menghilangkan dan mengubah kemungkaran itu sesuai dengan kemampuannya.

Sebaliknya, jika seseorang shalat secara lahiriah, tetapi justru dia suka bermaksiat, tidak melakukan amar makruf nahi mungkar, malah melakukan amar mungkar nahi makruf (menyerukan kemungkaran dan melarang kemakrufan), berarti dia memiliki karakter orang-orang munafik.

Kemakrufan dan Kemungkaran Terbesar

Bentuk-bentuk kemakrufan tentu sangat banyak dan berbeda-beda tingkatannya. Di antara kemakrufan yang paling agung setelah keimanan adalah kewajiban penerapan syariah secara kâffah. Pasalnya, penerapan syariah secara kâffah menjadi kunci bagi perwujudan berbagai kewajiban syari dan ragam kemakrufan lainnya.

Bentuk kemungkaran juga banyak dan berbeda tingkatannya. Di antara kemungkaran paling besar setelah syirik dan kekafiran adalah mengabaikan penerapan syariah secara kâffah apalagi menolaknya. Sebabnya, hilangnya penerapan syariah secara kâffah menjadi pintu bagi penyebaran berbagai kemungkaran dan kemaksiatan lainnya di masyarakat.

Penerapan syariah secara kâffah tidak akan terwujud kecuali dengan pengangkatan seorang imam atau khalifah, yakni dengan tegaknya Khilafah. Hilangnya Khilafah, dengan begitu, termasuk kemungkaran paling besar. Bahkan hilangnya Khilafah—yang mengakibatkan hilangya penerapan syariah secara kâffah—oleh para ulama disebut sebagai ummul jarâ`im (induk kejahatan) dan menjadi bencana terbesar yang menimpa umat Islam.

Yang menyedihkan, kemungkaran paling besar dan ummul jarâ`im itu benar-benar terjadi pada 28 Rajab 1342 H. Saat itu Mushthafa Kamal lanatulLah alayh memecat dan mengusir Khalifah. Dia lalu menghapus Khilafah Utsmani dan mendeklarasikan negara Turki sekular. Hal itu dia lakukan demi memenuhi perintah kaum kafir. Menteri Luar Negeri Inggris yang sekaligus merupakan koordiator delegasi Inggris, Italia dan Perancis, Lord Curzon, dalam Konferensi Lausanne 1922, menyatakan empat syarat bagi pengakuan atas kemerdekaan Turki yaitu: penghapusan total Khilafah, pengusiran Khalifah, perampasan hartanya dan deklarasi sekularisme negara.

Khatimah

Karena itu dalam momen memaknai Isra Mikraj sekaligus kewajiban shalat lima waktu yang diperintahkan pada malam Isra Mikraj itu, semestinya setiap Muslim bersegera melaksanakan ketaatan, merealisasi dan memerintahkan kemakrufan serta mencegah dan menghilangkan kemungkaran. Hendaklah setiap Muslim mengakhiri kemungkaran paling besar, yaitu hilangnya penerapan syariah secara kâffah serta tidak adanya khalifah dan Khilafah. Caranya adalah dengan berupaya secara sungguh-sungguh menyerukan penerapan syariah secara kâffah, pengangkatan seorang khalifah dan penegakan Khilafah yang termasuk kemakrufan dan kewajiban paling agung. Hendaknya seorang Muslim tidak melakukan hal sebaliknya: menolak penerapan syariah secara kâffah dan penegakan khilafah, apalagi menghalangi dan merintanginya. Pasalnya, tindakan demikian, selain bisa membuat dia dekat dengan karakter orang munafik, juga—seperti ungkapan Ibnu Abbas dan Ibnu Masud ra.—justru akan bisa menambah dirinya jauh dari Allah SWT.

WalLâh alam bi ash-shawâb. []

Hikmah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
Hai orang-orang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan karena sungguh setan itu musuh yang nyata bagi kalian (TQS al-Baqarah [2]: 208). []

ISRA MIKRAJ DAN ISYARAT DATANGNYA PERTOLONGAN ALLAH SWT

ISRA MIKRAJ DAN ISYARAT DATANGNYA PERTOLONGAN ALLAH SWT

Bulan Rajab tak bisa dipisahkan dengan Isra Mikraj. Peristiwa Isra Mikraj, yang terjadi pada bulan Rajab, sungguh sarat makna. Tentu peristiwa ini tidak boleh dibaca sebagai peristiwa yang terpisah dengan rangkaian sirah Rasulullah saw.

Peristiwa Isra Mikraj terjadi setelah Rasul saw. bersama para sahabat beliau menempuh waktu sebelas tahun perjalanan dakwah di tengah-tengah masyarakat.

Pada tiga tahun pertama kenabian, Rasul saw. membina para sahabat agar memiliki kepribadian islami dan keimanan yang kokoh; agar mampu memikul beban dakwah; juga sanggup mengorbankan apapun untuk menyerukan Islam dan menjadikan Islam sebagai sistem yang mengatur kehidupan umat manusia.

Tahun-tahun berikutnya, Rasul saw. bersama para sahabat berinteraksi di tengah-tengah masyarakat dengan membawa risalah agung ini, Islam. Pertama: Beliau melakukan pergolakan pemikiran dengan menyerang akidah dan pemikiran rusak seraya menjelaskan kerusakan dan keburukannya. Kemudian beliau menjelaskan akidah Islam yang lurus dan jernih sekaligus manusiawi. Beliau mendorong umat agar hanya mengambil akidah dan pemikiran Islam itu sebagai solusi bagi semua permasalahan kehidupan mereka.

Kedua: Beliau melakukan perjuangan politik dengan menentang segala bentuk penjajahan, kezaliman para penguasa, serta kekufuran sistem mereka. Beliau menyingkap kejahatan, makar dan tipudaya busuk mereka. Beliau menjelaskan kepada umat hakikat para penguasa yang justru mengekploitasi umat demi keuntungan pribadi.

Namun demikian, sebagai konsekuensinya, Rasul saw. dan para sahabat dipersekusi. Mereka disiksa, dipukuli, dijemur di bawah terik matahari, dilempari batu dan kotoran ternak. Di antara mereka bahkan ada yang meninggal karena siksaan. Beliau juga berhadapan dengan propaganda buruk, kampanye hitam dan pembunuhan karakter. Beliau dicap sebagai dukun, orang gila, atau tukang sihir. Risalah Islam pun dicap sebagai syair masa lalu dan jiplakan dari perkataan seorang Nasrani.

Kehidupan mereka dipersempit. Lapangan pekerjaan mereka dipersulit. Perdagangan mereka dirusak. Harta kekayaan mereka dirampas. Beliau bersama kaum Muslim dan kerabat dekat beliau dari Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib bahkan diboikot. Mereka tidak bisa berjual beli. Mereka tidak disapa. Sapaan mereka tidak dijawab. Mereka tidak dinikahi dan tidak bisa menikahi. Persediaan bahan makanan menjadi sangat sulit. Kelaparan luar biasa mendera mereka.

Namun demikian, berbagai penderitaan dan siksaan itu dijalani oleh Rasul saw. dan para sahabat dengan penuh kesabaran sebagaimana yang Allah perintahkan:

فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ أُولُو الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ وَلاَ تَسْتَعْجِلْ لَهُمْ
Bersabarlah kamu seperti para rasul yang mempunyai keteguhan hati dan janganlah tergesa-gesa atas mereka (TQS al-Ahqaf [46]: 35).

Rasul saw. dan para sahabat terus melanjutkan perjuangan dengan penuh kesabaran dan keyakinan, bahwa suatu saat pertolongan Allah pasti datang. Beliau tetap istiqamah. Beliau tidak kepincut untuk bersikap pragmatis meskipun penderitaan dan siksaan terus mendera. Bahkan beliau menolak berbagai tawaran Quraisy yang sangat menggiurkan. Tawaran Quraisy untuk menjadi orang paling kaya, menjadi raja, dan tanpa persetujuan beliau Quraisy tidak akan melakukan apapun, beliau tolak. Rasul saw. tidak bersiasat—atas nama strategi dakwah—menerima tawaran itu demi menerapkan Islam. Beliau malah meningkatkan intensitas seruan dan perjuangannya meski konsekuensinya siksaan dan penderitaan semakin keras menimpa beliau dan para sahabat.

Begitu lepas dari pemboikotan, paman Rasul saw., Abu Thalib, meninggal. Dua atau tiga bulan kemudian istri beliau, Khadijah, yang selama ini menjadi penunjang semangat dan dana bagi dakwah beliau, juga wafat. Beliau pun sangat berduka. Di tengah-tengah kedukaan ini, siksaan dan perilaku buruk kaum Quraisy terhadap beliau dan para sahabat justru bertambah ganas.

Setelah itu Rasul saw. diperintah oleh Allah SWT untuk menawarkan diri kepada kabilah-kabilah Arab lain. Hal itu beliau awali dengan pergi ke Bani Tsaqif di Thaif. Beliau mendapat jawaban yang buruk. Beliau diusir dan dilempari batu oleh orang awam dan anak-anak Thaif akibat hasutan pemuka mereka. Beliau pun berdarah-darah.

Sepulang dari Thaif, Rasul saw. melanjutkan upaya mencari nushrah (pertolongan) dengan mendatangi kabilah-kabilah Arab, yaitu Bani Amir bin Shashaah, Bani Hanifah, Bani Muharib bin Khashafah, Bani Fazarah, Bani Ghassan, Bani Murrah, Bani Sulaim, Bani Abs, Bani Nadhar, Bani al-Baka, Bani Kindah, Bani Kalb, Bani al-Harits bin Kaab, Bani Udzrah, Bani Hadhramah, Bani Syaiban dan Bani Hamdan. Sayang, semuanya menolak seruan beliau.

Semua itu menjadikan Rasul saw. merasa sangat sempit. Seolah tidak ada harapan keislaman dari Quraisy. Sikap Quraisy malah semakin bengis dan ganas. Kabilah selain Quraisy pun menolak seruan beliau. Mereka hanya menonton apa yang dilakukan Quraisy kepada beliau dan para sahabat.

Dalam kondisi inilah Allah SWT menghendaki untuk meng-Isra Mikraj-kan beliau dalam rangka menunjukkan kepada beliau tanda-tanda kekuasaan-Nya:

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلاً مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ اْلأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ ءَايَاتِنَا إِنَّه هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Mahasuci Allah Yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjid al-Haram ke Masjid al-Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami memperlihatkan kepada dia sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sungguh Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat (TQS al-Isra [17]:1).

Peristiwa Isra Mikraj ini menjadi berita gembira yang membesarkan hati Rasul saw. dan kaum Muslim. Di dalamnya, selain diturunkan kewajiban shalat lima waktu, juga sarat dengan isyarat Allah SWT, bahwa tidak lama lagi pertolongan (nushrah)-Nya akan datang. Faktanya, tidak lama setelah itu enam orang penduduk Yatsrib masuk Islam. Mereka lalu mendakwahkan Islam di Madinah. Setahun berikutnya, sejumlah 12 orang Madinah datang dan melaksanakan Baiat Aqabah I. Mereka kembali disertai Mushab bin Umair untuk bersama-sama mereka mendakwahkan Islam di Madinah.

Setahun berikutnya, sebanyak 75 orang dari mereka, sebagai wakil penduduk Madinah, datang berhaji dan melaksanakan Baiat Aqabah II, baiat penyerahan kekuasaan kepada Rasul saw. Tiga bulan kemudian beliau hijrah ke Madinah. Segera setelah itu berdirilah Daulah Islam. Negara Islam ini—yang pasca wafat Nabi saw. disebut dengan Khilafah—kemudian terus meluas. Tidak lama kemudian Khilafah—yang dipimpin oleh Khulafaur Rasyidin dan para khalifah setelah mereka—menjadi negara adidaya, yang menebarkan rahmat dan menyebarkan risalah Islam ke seluruh dunia selama tidak kurang dari 13 abad lamanya.

Renungan untuk Masa Kini

Umat Islam saat ini telah lama mengalami berbagai macam kesulitan. Mereka terperangkap dalam kemunduran dan keterpurukan. Mereka juga diekpsloitasi dan dizalimi. Mereka selalu ditekan dan dijajah. Mereka dituduh sebagai teroris, sumber kerusakan, tidak beradab, barbar, anti kemajuan, dan sebagainya. Para aktivis dakwahnya banyak yang dipersekusi. Mereka diawasi, disiksa secara fisik, dipersempit kehidupannya, dipotong sumber penghidupannya, dipenjarakan, diasingkan, dan lain-lain. Kondisi ini tidak berbeda dengan kondisi Rasul saw. dan para sahabat pada masa lalu.

Menghadapi semua itu, tidak lain kita harus meneladani Rasul saw. dan para sahabat. yakni tetap sabar dan istiqamah di jalan dakwah. Sikap itulah yang akan mengundang datangnya pertolongan Allah SWT.

Oleh karena itu, kita harus terus menyerukan Islam kepada masyarakat. Kita harus tetap mendorong mereka menerapkan syarah Islam secara kâffah untuk mengatur kehidupan. Kita harus tetap berpegang teguh dengan ide dan metode Islam. Kita tidak boleh menoleh ke idea, metode, solusi dan sistem selain Islam. Kita harus membuang semua yang tidak berasal dari Islam seperti sekularisme, demokrasi, HAM, liberalisme, sosialisme, dll.

Kita tidak boleh bersikap pragmatis. Pasalnya, Rasul saw. pun tidak pernah bersikap pragmatis, baik dengan alasan strategi, kemaslahatan atau alasan apapun. Beliau tetap istiqamah berpegang pada fikrah (ide) dan tharîqah (metode) Islam.

Karena itu kita pun harus tetap istiqamah dan berpegang teguh hanya dengan Islam. Hendaklah kita selalu ingat akan peringatan Allah SWT:

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah (ketentuan) Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih (TQS an-Nur [24]: 63).

Hendaklah kita harus selalu yakin, jika kita tetap sabar dan istiqamah, insya Allah—tidak lama lagi—pertolongan Allah SWT pasti datang. []

Hikmah:

وَعَدَ اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي اْلأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا
Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih di antara kalian, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa; akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka; dan akan menukar keadaan mereka—sesudah mereka berada dalam ketakutan—dengan rasa aman (TQS an-Nur [24]: 55). 

MEMULIAKAN BULAN RAJAB

Allah SWT telah menetapkan bulan-bulan tertentu sebagai bulan haram, yakni bulan suci yang wajib dimuliakan dan dihormati. Allah SWT berfirman:

﴿إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ﴾
Sungguh bilangan bulan menurut Allah SWT ada dua belas bulan dalam catatan Allah pada hari ketika Allah SWT menciptakan langit dan bumi. Di antaranya terdapat empat bulan haram [suci]. Itulah agama yang lurus. Karena itu janganlah kalian menzalimi diri kalian pada bulan-bulan itu (TQS at-Taubah [9]: 36).


Nabi saw. menjelaskan empat bulan suci dalam ayat tersebut:

«إنَّ الزَّماَنَ قَدْ اِسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللهُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ، السَّنَةُ اِثْنَا عَشَرَ شَهْرًا، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ، ثَلاَثٌ مُتَوَالِيَاتٌ: ذُوْ الْقَعْدَةِ، وَذُوْ الْحِجَّةِ، وَالْمُحَرَّمُ، وَرَجَبُ شَهْرُ مُضَرّ الَّذِيْ بَيْنَ جُمَادِى وَشَعْبَانَ»
Sungguh waktu itu telah diputar sebagaimana keadaannya ketika Allah SWT menciptakan langit dan bumi. Tahun itu ada dua belas bulan, di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga berurutan, yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram; serta Rajab bulan Mudharr yang terdapat di antara Jumadi dan Sya’ban (HR Muslim).

Allah SWT menetapkan bulan-bulan tertentu sebagai bulan haram (suci). Maknanya, Allah SWT menetapkan kemuliaan dan kehormatan yang ada di dalamnya wajib dijaga. Karena itu dalam khutbah Haji Wada’- Nabi saw. bersabda:

«إنَّ أَمْوَالَكُمْ وَدِمَاءَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا، فِي شَهْرِكُمْ هَذَا وَفِي بَلَدِكُمْ هَذَا»
Sesungguhnya harta kalian, darah kalian dan kehormatan kalian adalah haram (mulia) bagi kalian sebagaimana kemuliaan hari kalian ini, pada bulan kalian ini dan di negeri kalian ini (HR Muslim).


Dalam ayat di atas Allah SWT dengan tegas melarang kita melakukan kezaliman terhadap diri kita pada bulan-bulan tersebut. Jika melakukan kezaliman pada bulan-bulan lain dilarang, maka penegasan Allah SWT atas larangan melakukan kezaliman pada bulan haram ini menunjukkan larangan tersebut lebih besar lagi dosanya. Begitu juga saat kita dilarang menzalimi diri sendiri maka larangan menzalimi orang lain tentu dosanya lebih besar lagi.

Karena itu Imam al-Baihaqi menyatakan bahwa Allah SWT telah menjadikan dosa yang dilakukan pada bulan-bulan (haram) tersebut lebih besar. Amal shalih dan pahalanya (pada bulan-bulan haram tersebut) pun sangat besar (Al-Baihaqi, Syu’ab al-Îmân, III/370).

Dulu kaum Muslim menolak untuk mengeksekusi hukuman qishâsh pada bulan haram ini (‘Abdu ar-Razzaq, Al-Mushannaf, IX/303).

Bahkan Imam Syafii rahimahulLâh telah melipatgandakan diyat (uang tebusan) pembunuhan karena salah (qatlu al-khatha’) yang dilakukan pada bulan haram. Beliau bersandar pada riwayat dari Ibnu Umar dan Ibnu ‘Abbas. Inilah kemuliaan bulan haram, termasuk bulan Rajab.

Begitu sekelumit kemuliaan dan kehormatan bulan haram, termasuk bulan Rajab, juga bagaimana kaum Muslim terdahulu mengagungkan bulan-bulan haram itu dan menghormati kemuliaan dan kesuciannya.

Sayang, tak sedikit dari kaum Muslim yang tidak paham kemuliaan, kesucian dan kehormatan bulan haram. termasuk bulan Rajab ini. Akibatnya, mereka menyia-nyiakan bahkan menodai kemuliaan, kesucian dan kehormatannya.


Memuliakan Bulan Rajab

Allah SWT telah menetapkan Rajab termasuk bulan suci. Allah SWT pun telah memilih Rajab sebagai momen hijrah kaum Muslim yang pertama ke Habasyah, tahun ke-5 kenabian. Allah SWT juga menjadikan Rajab sebagai momen untuk meng-isra’mikraj-kan hamba-Nya pada tahun ke-10 kenabian. Isra’ dan Mikraj adalah momen istimewa. Pasalnya, tidak saja dalam peristiwa itu Nabi saw. menerima titah kewajiban shalat, tetapi juga menerima pengukuhan beliau sebagai pemimpin bagi seluruh umat manusia. Itulah saat beliau dititahkan menjadi imam para nabi dan rasul sebelumnya di Baitul Maqdis.

Pada bulan Rajab juga Allah SWT menetapkan momen pertemuan pertama kali Nabi saw. dengan kaum Anshar yang mempunyai kemuliaan. Melalui tangan merekalah Negara Islam pertama tegak di Madinah. Dengan itu kesucian darah, harta dan jiwa pun bisa terjaga. Jabir bin ‘Abdillah ra. menuturkan: Rasulullah saw. pernah menawarkan dakwah kepada khalayak…Baginda mengatakan, “Apakah ada seseorang yang bisa membawaku kepada kaumnya karena kaum Quraisy telah menghalangiku untuk menyampaikan firman Tuhanku?” Jabir berkata: Seorang laki-laki dari Bani Hamdan lalu mendatangi beliau. Dia berkata, “Saya.” Baginda bertanya, “Apakah kaummu mempunyai kekuatan (yang bisa melindungi)?” Dia menjawab, “Iya.” Lalu Rasul saw. bertanya lagi kepada dia, “Dari mana asalnya?” Dia menjawab, “Dari Bani Hamdan.” Pada saat berikutnya, dia pun krmbali mendatangi Rasulullah saw. seraya berkata, “Saya telah mendatangi kaumku. Saya telah memberitahu mereka. Kemudian saya akan menemui Anda tahun depan.” Baginda menjawab, “Baik.” Dia pun pergi. Lalu delegasi Anshar pun tiba pada bulan Rajab (HR al-Hakim an-Nisaburi, Al-Mustadrak, IX/497).

Rajab juga telah dijadikan oleh Allah SWT momen istimewa peralihan kiblat kaum Muslim, dari Masjidil Aqsa ke Masjidil Haram (Ibnu Katsir, al-Bidâyah wa an-Nihâyah, III/252-253).

Rasul saw. pun menjadikan Rajab sebagai momen pengiriman desatemen Abdullah bin Jahsy, yang kemudian menjadi pemicu terjadinya Perang Badar (Ibnu Katsir, al-Bidâyah wa an-Nihâyah, III/248-249).

Bahkan Perang Tabuk, peperangan yang sangat sulit sehingga tentaranya disebut “Jaisy ‘Usyrah”, juga dilakukan pada bulan Rajab, tahun 9 H (Ibn Hisyam, As-Sîrah an-Nabawiyyah, V/195).

Rajab juga telah dijadikan momen penting bagi generasi berikutnya. Kota Damaskus (Syam) dibebaskan oleh kaum Muslim di bawah Panglima Abu ‘Ubaidah bin al-Jarrah dan Khalid bin al-Walid radhiyalLâhu ‘anhuma pada bulan Rajab tahun 14 H/635 M. Setelah itu Perang Yarmuk, yang dipimpin oleh Khalid bin al-Walid menghadapi Romawi, terjadi pada hari Senin, bulan Rajab, tahun 15 H/636 M (Ibnu Katsir, An-Bidâyah wa an-Nihâyah, VII/4).

Berikutnya Khalid bin al-Walid membebaskan Hirah, Irak, juga pada bulan Rajab (Ibnu Katsir, Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, VI/343). Setelah menaklukkan Irak ini, Khalid kemudian melakukan Shalat Fath.

Baitul Maqdis juga berhasil direbut kembali oleh kaum Muslim pada bulan Rajab, tepatnya 28 Rajab 583 H/2 Oktober 1187 M di bawah kepemimpinan Shalahuddin al-Ayyubi setelah mereka mengalahkan pasukan salib dalam Perang Hittin. Azan dan shalat Jumat kembali dikumandangkan dan dilaksanakan di Masjid al-Aqsha, setelah 88 tahun diduduki tentara Salib.

Begitulah kemuliaan Rajab di mata Islam dan kaum Muslim, dari dulu, kini hingga Hari Kiamat. Kaum Muslim dulu telah begitu rupa memuliakan dan menjaga kehormatan bulan haram termasuk Rajab dengan mempersembahkan amal-amal mulia, amal-amal spektakuler dan prestasi monumental yang dicatat dengan tinta emas sejarah untuk kemuliaan Islam dan kaum Muslim.

Sayang, kini kemuliaan Rajab yang begitu luar biasa itu telah hilang. Ini seiring dengan redup bahkan hilangnya pemahaman dan kesadaran umat akan kemuliaan bulan ini, terutama setelah Islam telah dibuang dari kehidupan. Ini terjadi setelah terjadi malapetaka besar atas umat ini. Mushtafa Kemal bersama komplotannya—la’natulLâh ‘alayhim—bersekongkol dengan Inggris dan Perancis, menghancurkan Khilafah Utsmani pada 28 Rajab 1351 H/4 Maret 1924 M. Akibat lenyapnya Khilafah, junnah (pelindung) Islam dan umat Islam, umat Islam pun dirundung malapetaka demi malapetaka hingga sekarang seolah tak berkesudahan.

Namun demikian, yakinlah dengan izin dan pertolongan Allah, semua itu akan segera berakhir. Allah SWT telah berjanji bahwa penerapan syariah Islam akan kembali terwujud. Allah SWT telah menjanjikan, Khilafah Rasyidah yang mengikuti manhaj kenabian akan kembali tegak menerapkan syariah, melindungi umat, menjaga kemuliaan Islam serta menebarkan petunjuk dan keadilan ke seluruh dunia. Itu merupakan urusan Allah SWT dan Dia pasti akan memenangkan urusan-Nya.

Atas izin Allah SWT, selalu ada jamaah (thâ`ifah) di antara umat Nabi-Nya yang terus-menerus berjuang siang dan malam. Mereka berjuang dan melipatgandakan perjuangannya untuk mewujudkan penerapan syariah Islam, menegakkan kembali Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah serta menjaga kemuliaan Islam dan kaum Muslim. Hal itu, selain dilandasi oleh kesadaran bahwa itu merupakan kewajiban syar’i dari Allah SWT, juga dilandasi kesadaran akan kondisi umat ini, bagaimana penderitaan yang mereka alami, serta solusi apa yang seharusnya direalisasikan.

Karena itu hendaklah kita memastikan diri menjadi bagian dari barisan orang-orang yang mendapat kemuliaan dari Allah SWT itu. Caranya dengan meneguhkan dan mengokohkan tekad serta menggelorakan semangat dan berpartisipasi semaksimal mungkin sesuai potensi dan kemampuan kita dalam perjuangan untuk menerapkan syariah dan merealisasi janji Allah akan tegaknya Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Apalagi pada bulan Rajab, bulan haram ini, yang di dalamnya pahala amal shalih dilipatgandakan.

WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []

Hikmah:


Allah SWT berfirman:

﴿وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ وَسَتُرَدُّونَ إِلَىٰ عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ﴾
Katakanlah, “Bekerjalah kalian, maka Allah dan Rasul-Nya serta kaum Mukmin akan melihat pekerjaan kalian itu, dan kalian akan dikembalikan kepada (Allah) Yang mengetahui perkara yang gaib dan yang nyata, lalu Dia memberitakan kepada kalian apa saja yang telah kalian kerjakan.” (TQS at-Taubah [9]: 105)

HARAM MENJEGAL DAKWAH

Dakwah dan para pengembannya akan selalu diuji oleh Allah SWT dengan hadangan orang-orang yang hasad dan membenci kalimatulLâh. Para penghadang inilah yang disebut oleh Allah SWT sebagai syayâthîn. Mereka bukan saja menghadang, tetapi juga melemparkan tudingan-tudingan keji terhadap dakwah dan para pengembannya untuk menyesatkan umat. Allah SWT berfirman:

 

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ…

Demikianlah Kami telah menjadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan jin… (TQS al-An’am [6]: 112).

 

 

Imam Jarir ath-Thabari dalam tafsirnya mengatakan bahwa ujian yang disebutkan Allah SWT dalam ayat ini tidak hanya menimpa Rasulullah saw., tetap juga berlaku umum bagi orang-orang yang mengikuti beliau dalam dakwah.

 

 

Beragam Cara Menjegal Dakwah

 

Di antara upaya menjegal dan menjagal dakwah itu adalah dengan berbagai propaganda atau pemberian stigma negatif baik pada Islam maupun kepada para pejuangnya. Rasulullah saw. dan para sahabat telah mengalami kondisi demikian. Bahkan Rasulullah saw. yang mulia pernah disebut sebagai orang gila (QS al-Hijr [15]: 6), tukang sihir (QS Shad [38]: 4), penyair gila (QS Shaffat [37]: 37), pemecah-belah persatuan kaumnya, dsb.

 

Ajaran Islam juga tak lepas dari berbagai cacian. Al-Quran, misalnya, disebut sebagai ayat-ayat sihir (QS al-Muddatsir [74]: 24), kumpulan dongeng (QS al-Muthaffifin [83]: 13); juga dituding sebagai karya orang ‘ajam (non Arab), bukan kalamullah (QS an-Nahl [16]: 103).

 

Kaum Muslim yang mengikuti Rasulullah saw. pun senantiasa diejek dan disebut sebagai orang-orang tersesat. Allah SWT berfirman:

 

وَإِذَا رَأَوْهُمْ قَالُوا إِنَّ هَؤُلَاءِ لَضَالُّونَ

Jika mereka melihat orang-orang Mukmin, mereka berkata, “Sungguh mereka itu benar-benar sesat.” (TQS al-Muthaffifin [83]: 32).

 

Para tokoh musyrik Quraisy seperti Abu Jahal, Abu Lahab dan Walid bin Mughirah bekerja keras siang-malam untuk menjegal dakwah Rasulullah saw.  Abu Lahab bahkan selalu membuntuti dakwah Nabi saw. dan memprovokasi orang-orang untuk meninggalkan beliau. Abu Lahab menyebut perkataan Nabi saw. sebagai sihir, memecah-belah keluarga dan kabilah serta menghina agama nenek moyang mereka.

 

Para penentang dakwah ini pun melakukan penganiayaan secara fisik kepada Rasulullah saw. dan kaum Muslim. Mereka mengembargo kegiatan sosial dan ekonomi Nabi saw. dan para sahabat beliau. Mereka pun mengucilkan Nabi saw. dan para sahabat beliau ke lembah tandus selama tiga tahun. Sebagian sahabat, terutama yang dhu’afa, ditangkap, disiksa dan bahkan ada yang dibunuh. Yasir dan Sumayyah ra. adalah pasangan suami-istri yang menjadi syuhada pertama dalam perjuangan dakwah.

 

Rasulullah saw. pun tak lepas dari penyerangan secara fisik. Abu Lahab dan istrinya pernah menaburkan duri-duri di depan rumah Nabi saw. Abu Lahab pernah menaburkan isi perut unta ke atas kepala beliau. Abu Lahab bahkan pernah mencekik dan hampir membunuh beliau.

 

Kaum kafir Quraisy juga mengerahkan para pemudanya untuk mengepung rumah Nabi saw.. Mereka siap membunuh beliau. Namun demikian, Allah SWT menyelamatkan beliau hingga beliau bisa hijrah ke Madinah.

 

 

Tantangan Dakwah Kini

 

Tantangan para pengemban dakwah hari ini pun tak berbeda dengan apa yang pernah dialami oleh Rasulullah saw. dan para sahabat. Berbagai upaya dilakukan untuk menjegal dan membungkam dakwah, antara lain dengan cara: Pertama, mengkriminalisasi para da’i tuduhan sebagai kaum radikal, mengancam kebhinekaan, membawa ajaran yang tidak sesuai budaya lokal, dll. Tujuannya adalah agar mereka dijauhi oleh masyarakat.

 

Kedua, menangkap para pegiat dakwah juga mulai dilakukan. Sejumlah aktifis dakwah dibui dengan tuduhan melakukan ujaran kebencian dan menyebarkan hoax di media sosial. Sebaliknya, berbagai akun medsos yang terang-terangan menghina tokoh Islam, menyerang ormas Islam, juga menghina ajaran Islam lamban diproses bahkan mayoritas tak kunjung ditindak.

 

Ketiga, mengkriminalisasi ajaran Islam, terutama syariah dan khilafah. Para penentang dakwah melakukan framing terhadap dakwah penegakan syariah dan khilafah sebagai ancaman terorisme. Mantan ketua BNPT Ansyad Mbai, dalam persidangan administrasi PTUN tentang pembubaran HTI, mem-framing opini bahwa dakwah menegakkan khilafah adalah radikal dan menjadi benih terorisme.

 

Ansyad menegaskan bahwa terorisme adalah anak kandung radikalisme. Bahkan kata dia, radikalisme lebih berbahaya dari terorisme. “Seorang teroris akan dimotivasi oleh ideologinya yang radikal dan mengatasnamakan agama,” katanya. Kata dia pula, “Negara kita menghadapi darurat radikalisme apalagi dengan masuknya paham khilafah ke Indonesia,” ujar Mbai (Kriminologi.id, 1/3/2018).

 

Kriminalisasi ajaran Islam—khususnya syariah dan khilafah—dan para pengembannya, apalagi dikaitkan dengan terorisme, adalah cara berpikir yang kacau. Pasalnya, metode dakwah untuk menegakkan khilafah telah ditentukan dalam syariah Islam, yakni tidak boleh dilakukan dengan kekerasan apalagi membunuh warga tak bersalah meski atas nama dakwah. Bahkan Allah SWT berfirman:

 

…مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا…

…Siapa saja yang membunuh seseorang bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena dia membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh seluruh manusia… (TQS al-Maidah [5]: 32).

 

 

Dakwah Pasti Mendatangkan Berkah

 

Islam adalah agama yang menebarkan kebaikan dan keberkahan bagi masyarakat. Setiap Muslim wajib mengimani bahwa keberkahan hidup dunia dan akhirat hanya bisa diraih dengan mengamalkan dan menerapkan hukum-hukum Allah SWT, bukan hukum-hukum buatan manusia. Islam datang untuk mengeluarkan manusia dari keterpurukan hidup menuju keberkahan dan rahmat Allah SWT (Lihat: QS al-Hadid [57]: 9; QS al-Anbiya’ [21]: 107).

 

Karena itu mendakwahkan Islam—termasuk di dalamnya syariah dan khilafah—pasti bakal mendatangkan berkah dan rahmat Allah SWT. Gambaran penerapan Islam—termasuk di dalamnya syariah dan khilafah—yang mendatangkan berkah dan rahmat Allah SWT bisa dilihat dari kepemimpinan Rasulullah saw. dan Khulafaur-Rasyidin. Dua masa inilah yang seharusnya dijadikan pedoman oleh kaum Muslim dalam melihat realita kehidupan Islam yang sebenarnya,  bukan praktik keliru yang terjadi di banyak negeri kaum Muslim, apalagi yang diperagakan oleh ISIS. Nabi saw. telah bersabda:

 

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

Wajib atas kalian berpegang pada Sunnahku dan sunnah Khulafaur-Rasyidin yang mendapatkan petunjuk. Gigitlah ia dengan gigi geraham (HR Ibnu Majah).

 

Syariah dan khilafah memperlakukan semua warganya—pria-wanita, miskin-kaya, Muslim-non-Muslim—sama di hadapan syariah Islam. Kalangan non-Muslim juga berhak mendapatkan pelayanan Khilafah sebagaimana kaum Muslim. Di ruang pengadilan mereka duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan kaum Muslim. Mereka sama-sama diproses dengan hukum yang juga sama. Terjagalah harta, jiwa dan kehormatan mereka. Karena itu tak ada alasan takut pada syariah dan khilafah, apalagi menuding keduanya sebagai pemicu terorisme.

 

Haram Menjegal Dakwah

 

Meninggalkan dakwah adalah kerugian besar bagi seorang Muslim. Pasalnya, Rasulullah saw.  telah bersabda:

 

لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوفِ، وَلَتَنْهَوُنَّ عَنِ الْمُنْكَرِ، أَوْ لَيُسَلِّطَنَّ اللَّهُ عَلَيْكُمْ شِرَارَكُمْ، ثُمَّ يَدْعُو خِيَارُكُمْ فَلا يُسْتَجَابُ لَكُمْ

Kalian sungguh-sungguh menyerukan kemakrufan dan mencegah yang munkar atau Allah benar-benar akan memberikan kekuasaan kepada orang-orang buruk di antara kalian, lalu orang-orang baik di antara kalian berdoa, tetapi tidak dikabulkan oleh Allah (HR Ibnu Hibban).

 

 

Berdasarkan hadis di atas, meninggalkan dakwah jelas haram, apalagi menjegal dakwah, jelas haram pula. Menjegal dakwah sama artinya menghalangi negeri ini keluar dari penderitaannya dan melestarikan kesengsaraan bagi seluruh rakyat. Ini merupakan dosa besar di sisi Allah SWT, sebagaimana firman-Nya:

 

إِنَّ الَّذِينَ فَتَنُوا الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَتُوبُوا فَلَهُمْ عَذَابُ جَهَنَّمَ وَلَهُمْ عَذَابُ الْحَرِيقِ

Sungguh orang-orang yang menimpakan fitnah kepada kaum Mukmin laki-laki dan perempuan, kemudian mereka tidak bertobat, maka bagi mereka azab Jahanam dan bagi mereka azab (neraka) yang membakar (TQS al-Buruj [85]: 10).

 

Menjegal dakwah sama artinya membiarkan kemungkaran terus merajalela. Manakala kemungkaran merajalela itu artinya pintu bencana terbuka bagi semua orang, termasuk orang-orang salih. Dalam hal ini, Ummu Salamah, istri Nabi saw., pernah bertutur: Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda:

 

إِذَا ظَهَرَتِ الْمَعَاصِي فِي أُمَّتِي، عَمَّهم اللَّهُ بِعَذَابٍ مِنْ عِنْدِهِ. فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَمَا فِيهِمْ أُنَاسٌ صَالِحُونَ؟ قَالَ: بَلَى

Jika ragam kemaksiatan di tengah umatku telah nyata, Allah pasti akan menimpakan azab-Nya kepada mereka secara merata.” Aku (Ummu Salamah), bertanya, “Wahai Rasulullah, bukankah di tengah mereka itu ada orang-orang yang salih?” Beliau menjawab, “Benar.” (HR Ahmad). []

 

Hikmah:

 

﴿إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ لِيَصُدُّوا عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ فَسَيُنْفِقُونَهَا ثُمَّ تَكُونُ عَلَيْهِمْ حَسْرَةً ثُمَّ يُغْلَبُونَ وَالَّذِينَ كَفَرُوا إِلَى جَهَنَّمَ يُحْشَرُونَ﴾

Sungguh orang-orang kafir menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi sesalan bagi mereka dan mereka akan dikalahkan. Ke dalam Jahanamlah orang-orang kafir itu dikumpulkan (QS al-Anfal [8]: 36). []

[Buletin Kaffah_31_24 Jumada ats-Tsaniyah 1439 H- 9 Maret 2018 M]

 

GHOUTA BERDUKA, DUNIA PURA-PURA BUTA

Lebih dari 500 warga sipil terbunuh. Ribuan orang lainnya terluka parah. Di antara mereka adalah ratusan bayi, anak-anak kecil, juga para wanita. Tak terhitung rumah, rumah sakit, masjid, madrasah dan bangunan lainnya luluh-lantak. Itu terjadi di Ghouta Timur, Suriah, baru-baru ini. Semua adalah akibat pengeboman besar-besaran dan membabi-buta oleh rezim Bassar Asad sejak akhir pekan lalu. Pengeboman yang amat keji itu didukung penuh oleh aliansi jahat Rusia dan Amerika, juga Iran. 

 

Sebagaimana dilansir oleh Mediaumat.news, media resmi dan situs media sosial melaporkan foto-foto mengerikan akibat  pemborbardiran, pembakaran dan pembasmian lebih dari 400.000 Muslim di Ghouta Timur. Hadi al-Abdullah, seorang aktivis Suriah, mengatakan di akun Facebook-nya: “Mereka tidak dapat menghitung jumlah syuhada. Dalam dua hari saja, lebih dari 200 syuhada telah terbunuh.”

 

Menurut Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia (SOHR), jumlah korban tewas dalam serangan keji selama tujuh hari itu meningkat menjadi 520 jiwa pada Sabtu (24/2) waktu setempat. Warga sipil yang terluka mencapai lebih dari 2.500 orang. Di antara korban tewas terdapat 127 anak-anak dan 75 perempuan.

 

Adapun yang masih hidup, menurut laporan Al-Arabiya, Ahad (25/2), banyak yang tinggal di bawah tanah selama sepekan terakhir untuk menghindari pengeboman terus-menerus. Sayang, mereka kehabisan bahan makanan dan air (Republika.co.id, 26/2/2018).

 

Menurut data SNHR (Syrian Network for Human Rights), sejak serangan 14 Oktober 2017 silam hingga 24 Februari 2018, Asad telah menewaskan 1121 warga sipil. Sebanyak 281 adalah anak-anak dan 171 wanita. Adapun jumlah korban sejak aksi perlawanan rakyat Maret 2011 ada 12.763 jiwa. Sebanyak 1463 adaah anak-anak dan 1127 wanita. Bahkan wilayah Ghouta terpapar 46 kali serangan senjata kimia. Sejak gerakan perlawanan rakyat 2011, Ghouta menjadi salah satu pusat perlawanan dan memiliki posisi strategis karena kedekatannya dengan ibukota Damaskus. Karena itu kawasan ini diblokade oleh Asad sejak April 2013, bahkan acap diserang dengan meriam atau roket.

 

 

Dunia Kembali Bungkam

 

Menyaksikan pembantaian umat Islam untuk ke sekian kalinya, dunia kembali bungkam. Para pemimpin dunia tak ada yang bersuara. Seolah tidak terjadi apa-apa.  PBB dan lembaga-lembaga HAM dunia juga diam. Demikian pula para penguasa Muslim. Mereka seolah-olah buta dan tuli. Padahal jelas, di mata Allah SWT, jangankan ribuan jiwa, pembunuhan satu orang saja tanpa haq, sama dengan membunuh seluruh manusia. Allah SWT berfirman:

 

مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا

Siapa saja yang membunuh satu orang, bukan karena orang itu membunuh orang lain atau membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh seluruh manusia (TQS al-Maidah [5]: 32).

 

Bahkan jika yang terbunuh adalah seorang Muslim, maka itu adalah peristiwa yang jauh lebih dahsyat dibandingkan dengan kehancuran dunia ini. Demikian sebagaimana sabda Rasulullah saw.:

 

لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عِنْدَ اللهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ.

Kehancuran dunia ini lebih ringan di sisi Allah dibandingkan dengan pembunuhan seorang Muslim  (HR at-Tirmidzi dan an-Nasa’i).

 

Sampai Kapan Umat Jadi Korban?

Tragedi Ghouta di Suriah hanyalah pengulangan belaka dari ratusan bahkan ribuan tragedi yang menimpa umat Islam di seluruh dunia.  Jelas, Ghouta bukan tragedi pertama—bahkan  mungkin bukan yang terakhir—yang  menimpa umat Islam. Sebelum ini, bahkan hingga kini masih sedang berlangsung, ada tragedi pembantaian umat Islam di Myanmar (Burma). Tragedi lainnya juga masih akan terus dialami oleh kaum Muslim di Xinjiang, Cina; Kashmir, India; di Afrika, Irak dan tentu di Palestina yang telah sekian puluh tahun menderita dijajah Israel yang didukung Amerika dan Eropa.

 

Dengan seabreg penderitaan umat di berbagai belahan dunia itu, khususnya yang dialami kaum Muslim di Suriah saat ini, kita patut bertanya: Siapa yang membela? Tidak ada. Apakah PBB? Tidak. Apakah lembaga HAM dunia. Tidak. Apakah para penguasa Arab dan Muslim? Adakah dari para penguasa Arab dan Muslim itu yang berani  menjadi “lelaki” meski cuma sehari saja?  Juga tidak. Mereka tak ubahnya banci,  tak punya nyali sedikit pun;  kecuali sekadar mengutuk. Itu pun sekadar kedok untuk menutupi sikap pengecut mereka. Lebih dari itu tidak mereka lakukan, seperti mengerahkan pasukan militer untuk menghentikan serangan brutal Rusia dan rezim Bassar Asad, sang penjagal Muslim Suriah. Padahal jelas, Suriah bertetangga dengan Turki, Saudi dan negara-negara Arab lainnya.

 

Lalu mengapa para penguasa Muslim dan Arab tidak bergerak sedikitpun untuk membela warga Suriah? Mengapa mereka tidak segera mengirimkan ratusan ribu tentaranya untuk menggempur pasukan rezim Bassar Asad yang berkoalisi dengan Rusia, Amerika juga Iran? Jawabannya:

 

Pertama, inilah dampak buruk nasionalisme dan nation state. Akibat nasionalisme dan nation state, ukhuwah islamiyah hilang entah kemana. Masing-masing negeri Muslim, khususnya para penguasa mereka, hanya mementingkan diri mereka sendiri. Mereka tak peduli atas tragedi yang terjadi di Suriah, juga di sejumlah negeri Muslim lainnya seperti di Palestina, Irak, Myanmar, dll.

 

Kedua, kebanyakan para penguasa Muslim dan Arab adalah antek Barat, khususnya AS dan Rusia. Wajar jika mereka cenderung membiarkan—bahkan mendukung—kebijakan tuan-tuan mereka meski jelas-jelas dalam rangka membunuhi kaum Muslim di berbagai negeri Islam, khususnya Suriah. 

 

Sekitar dua tahun lalu Saudi memang menggagas pembentukan aliansi militer yang melibatkan 34 negara Muslim. Namun, kiprahnya tak terdengar sedikit pun saat kaum Muslim Myanmar dan kaum Muslim Suriah dibantai seperti saat ini. Mengapa? Karena sejak awal aliansi ini dibentuk dalam rangka menangkal “terorisme” dalam makna yang dikehendaki Amerika dan Barat sebagai tuan-tuan mereka; bukan untuk menghabisi teroris sejati semacam Bassar Assad, Zionis Yahudi, apalagi gembong teroris Amerika dan Rusia. Sejauh ini mereka hanya pandai mengecam dan mengutuk. Sebagian lagi diam seribu bahasa, bahkan menjalin hubungan kerjasama dengan Iran, yang notabene salah satu alat Amerika yang juga berperan dalam pembantaian kaum Muslim di Suriah.

 

 

Umat Butuh Khilafah

 

Dengan semua tragedi yang menimpa umat Islam di berbagai belahan dunia ini, umat makin membutuhkan Khilafah yang dipimpin oleh seorang khalifah. Sebabnya jelas karena, sebagaimana sabda Rasulullah saw.:

 

  إِنَّمَا الإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ

Imam (Khalifah) itu laksana perisai; kaum Muslim diperangi (oleh kaum kafir) di  belakang dia dan dilindungi oleh dirinya (HR Muslim).

 

Apa yang disabdakan Rasulullah saw. di atas dibuktikan dalam sejarah antara lain oleh Khalifah Al-Mu’tashim Billah yang sukses menaklukkan Kota Amuriyah, kota terpenting bagi imperium Romawi saat itu, selain Konstantinopel.

 

Al-Qalqasyandi dalam kitabnya, Ma’âtsir al-Inâfah, menjelaskan salah satu sebab penaklukan kota itu pada tanggal 17 Ramadhan 223 H. Diceritakan bahwa penguasa Amuriyah, salah seorang raja Romawi, telah menawan wanita mulia keturunan Fathimah ra. Wanita itu disiksa dan dinistakan hingga berteriak dan menjerit meminta pertolongan.

 

Menurut Ibn Khalikan dalam Wafyah al-A’yan, juga Ibn al-Atsir dalam Al-Kâmil fî at-Târîkh, saat berita penawanan wanita mulia itu sampai ke telinga Khalifah Al-Mu’tashim Billah, saat itu sang Khalifah sedang berada di atas tempat tidurnya. Ia segera bangkit dari tempat tidurnya seraya berkata, “Aku segera memenuhi panggilanmu!”

 

Tidak berpikir lama, Khalifah Al-Mu’tashim Billah segera mengerahkan sekaligus memimpin sendiri puluhan ribu pasukan kaum Muslim menuju Kota Amuriyah. Terjadilah peperangan sengit. Kota Amuriyah pun berhasil ditaklukkan. Pasukan Romawi bisa dilumpuhkan. Sekitar 30 ribu tentaranya terbunuh. Sebanyak 30 ribu lainnya ditawan oleh pasukan kaum Muslim. Khalifah pun berhasil membebaskan wanita mulia tersebut. Khalifah lalu berkata di hadapan wanita itu, “Jadilah engkau saksi untukku di depan kakekmu (Nabi Muhammad saw.), bahwa aku telah datang untuk membebaskan kamu.”

Semoga Allah SWT merahmati Al-Mu’tashim Billah.

 

Bagaimana dengan para penguasa Arab dan Muslim? Sekali lagi: Adakah di antara mereka yang berani menjadi “lelaki” meski hanya sehari saja? Tidak ada. Mereka semua tetap memilih menjadi banci!

 

Alhasil, sekali lagi, umat memang butuh Khilafah,  juga seorang khalifah seperti Al-Mu’tashim Billah. Semoga saja umat Islam di seluruh dunia segera memiliki memiliki Khilafah, juga pemimpin pemberani yang mengayomi seperti Khalifah Al-Mu’tashim Billah yang akan menaklukkan Amerika, Eropa, Rusia dan Cina; menyatukan berbagai negeri Islam; menjaga kehormatan kaum Muslim; dan menolong kaum tertindas.

 

Insya Allah, masa yang mulia itu akan segera tiba karena memang telah di-nubuwwah-kan oleh Rasulullah saw.:

 

ثُمّ تَكُوْنُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ

Kemudian akan datang kembali masa Khilafah yang mengikuti metode kenabian (HR Ahmad). []

 

Hikmah:

Rasulullah saw. bersabda:

 

«الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا»

Mukmin dengan Mukmin lainnya bagaikan satu bangunan; sebagian menguatkan sebagian lainnya. (HR Bukhari, at-Tirmidzi, an-Nasa’i dan Ahmad).

 

«لاَ تَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلاَ تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا …»

Kalian tidak masuk surga hingga kalian beriman dan belum sempurna keimanan kalian hingga kalian saling mencintai… (HR Muslim).

[Buletin Kaffah No. 30, 17 Jumada ats-Tsaniyah 1439 H – 2 Maret 2018 M]

 

UPDATE INFORMASI TERBARU