• “Sesungguhnya yang memakmurkan masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, serta (tetap) menegakkan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut kecuali hanya kepada Allah. Maka mudah-mudahan mereka termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk.” At-Taubah: 18
Tuesday, 8 October 2024

BERPACU DENGAN WAKTU (TAFSIR QS AL-‘ASHR)

Bagikan

 Oleh Rokhmat S. Labib

 

وَالْعَصْرِ ^إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ ^إِلاَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

 

Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran, dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.

(QS al-‘Ashr [103]: 1-3).

 

Tafsir Ayat

            Dinamakan al-‘Ashr karena pada awal surat ini Allah Swt. bersumpah dengan menggunakannya.[1] Menurut Ibnu Abbas, Ibnu Zubair, dan jumhur surat ini tergolong surat makiyyah.[2] Dengan hanya terdiri dari tiga ayat, surat ini tergolong surat terpendek; di samping surat al-Kautsar yang juga terdiri dari tiga ayat. Kendati pendek, kandungan ayat ini amat dalam, padat, dan komprehensif.

Dalam surat yang amat pendek itu tergambar manhaj (tatanan) yang lengkap tentang kehidupan umat manusia sebagaimana dikehendaki Islam. Di dalamnya juga tampak jelas rambu-rambu presepsi keimanan dengan hakikatnya yang besar dan menyeluruh, dalam suatu gambaran yang sangat jelas dan detail.[3]Dengan kalimat yang ringkas, surat ini juga mampu menjelaskan faktor-faktor yang menjadi sebab kebahagiaan dan kesengsaraan manusia, keberhasilan dan kerugiannya dalam kehidupan.[4]

Sedemikian dalam dan padat, tidak aneh jika dulu ada dua orang sahabat Nabi saw. yang apabila bertemu, mereka tidak berpisah hingga salah satunya membacakan surat ini kepada yang lainnya hingga selesai. Baru setelah itu mereka mengucapkan salam dan berpisah.[5]

            Surat ini diawali sumpah dengan menggunakan waw al-qasamwa al-‘ashr. Kata al-‘ashr bermakna ad-dahr atau az-zamân (masa atau waktu).[6]Memang, ada yang menafsirkannya sebagai bagian dari waktu siang (waktu antara tergelincirnya matahari hingga sebelum terbenam), shalat ashar, atau masa kehidupan Nabi saw. (bagaikan waktu ashar jika dikaitkan dengan datangnya Hari Kiamat). Namun, menurut ath-Thabari, Ibnu Katsir dan asy-Syaukani, yang lebih râjih (kuat) dan masyhûr adalah makna pertama, yakni masa atau waktu secara umum, baik siang maupun malam.[7]

Setelah bersumpah dengan masa, Allah Swt. kemudian berfirman: Inna al-insâna lafî khusr[in] (Sesungguhnya manusia benar-benar dalam kerugian). Ayat ini patut mendapatkan perhatian serius, karena kedudukannya sebagai jawâb al-qasam. Dalam bahasa Arab, tujuan digunakan qasam (sumpah) adalah untuk mengukuhkan dan menandaskan muqsam ‘alayh (jawâb al-qasam, pernyataan yang karenanya qasam diucapkan).

Huruf alif-lâm di depan kata insân lebih tepat dikategorikan sebagai jinsiyyah, yang menunjukkan pengertian:  seluruh jenis manusia.[8] Oleh karena itu, pendapat sebagian mufasir yang mengkhususkan ayat ini hanya untuk Walid bin al-Mughirah, ‘Ash bin Wail, Aswad bin Muthallib, Abu Lahab, atau Abu Jahal[9]sangat tidak tepat. Kenyataan bahwa alif-lâm tersebut adalah li al-jins (bukan li al-ma’hud) sehingga memberikan makna umum, lebih diperkuat dengan adanya istitsnâ (pengecualian) pada orang-orang yang memiliki karakter tertentu sebagaimana disebutkan dalam ayat berikutnya.[10]

            Dengan demikian, menurut ayat tersebut, seluruh manusia benar-benar dalam kerugian (khusr[in]). Secara bahasa, kata khusr atau khusrân berarti berkurang atau hilangnya modal (ra’s al-mâl).[11] Meskipun istilah ini sering dipakai dalam perniagaan, makna kerugian yang ditunjukkan al-Quran tidak berdimensi duniawi dan berdasarkan kalkulasi materi. Kerugian (khusr) yang dimaksud lebih berdimensi ukhrawi. Dalam pandangan al-Quran, orang yang merugi adalah orang yang mendapatkan murka Allah Swt. dan azab-Nya di akhirat (neraka). Allah Swt. berfirman:

]قُلْ إِنَّ الْخَاسِرِينَ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنْفُسَهُمْ وَأَهْلِيهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَلاَ ذَلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ[

Katakanlah, “Sesungguhnya orang-orang yang rugi adalah orang yang merugikan diri mereka sendiri dan keluarganya pada Hari Kiamat.” Ingatlah, yang demikian adalah kerugian yang nyata. (QS az-Zumar [39]: 15).

 

Dengan pandangan semacam ini, al-Quran menyebut orang yang kufur sebagai orang yang merugi (QS al-Baqarah [2]: 121; az-Zumar [39]: 63). Demikian juga orang yang menyembah Allah dengan tidak sepenuh keyakinan (QS a-Hajj [22]: 11); percaya pada yang batil dan ingkar kepada Allah (QS al-Ankabut [29]: 52); melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, memutuskan apa yang diperintahkan Allah untuk dihubungkan, dan membuat kerusakan di muka bumi (QS a-Baqarah [2]: 27, ar-Ra‘d [13]: 25); termasuk orang-orang yang menjual petunjuk dengan kesesatan, yang tindakannya tersebut dinyatakan sebagai perniagaan yang tidak mendatangkan untung atau laba (QS al-Baqarah [2]: 16).

Dalam ayat tersebut juga ditegaskan bahwa kerugian yang diderita manusia itu amat besar. Sebagai indikatornya, kata khusr yang digunakan berbentuk nakîrah. Bentuk ini menunjukkan ancaman menakutkan (li tahwîl), seolah-olah manusia dalam kerugian yang amat besar; atau menurut ash-Shabuni berarti li ta‘zhîm sehingga dapat diartikan sebagai sebuah kerugian besar atau kehancuran yang parah.[12] Di samping itu, kata khusr[in] juga disertai huruf inna dan la yang berfungsi sebagai ta’kîd (penguat).[13]

Setelah dinyatakan bahwa seluruh manusia dalam keadaan merugi, ayat selanjutnya menyebutkan pengecualian orang-orang yang tidak mengalami nasib tersebut: illâ al-ladzîna âmanû wa amilû al-shâlihât (kecuali orang-orang yang beriman dan beramal salih). Mereka adalah orang-orang yang beriman dan beramal salih.

            Secara bahasa, kata al-îmân bermakna at-tashdîq (pembenaran).[14]Sedangkan makna iman dalam ayat tersebut adalah makna syar‘i, yakni at-tashdîq al-jâzim al-muthâbiq li al-wâqi ‘an dalîl (pembenaran yang pasti; bersesuaian dengan fakta; bersumber dari dalil).[15] Dalam ayat ini, kata âmanû(mereka beriman) tanpa disertai kata yang menjadi maf‘ûl bih (obyek)-nya. Padahal, kata âmanû tergolong fi‘il mut‘addi yang membutuhkan maf‘ûl bih. Itu berarti, yang mereka imani  adalah semua perkara yang diwajibkan untuk diimani. Artinya, yang dimaksudkan dengan frasa ini adalah orang-orang yang beriman kepada Allah, malaikat-malikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, Hari Kiamat, dan qadhâ wa al-qadar—baik dan buruknya dari Allah Swt. Totalitas keimanan itu menjadi sebuah keharusan. Pengingkaran terhadap sebagiannya mengakibatkan pelakunya terkatagori sebagai  kafir. Allah Swt. berfirman:

]إِنَّ الَّذِينَ يَكْفُرُونَ بِاللهِ وَرُسُلِهِ وَيُرِيدُونَ أَنْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ اللهِ وَرُسُلِهِ وَيَقُولُونَ نُؤْمِنُ بِبَعْضٍ وَنَكْفُرُ بِبَعْضٍ وَيُرِيدُونَ أَنْ يَتَّخِذُوا بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلاً{e1d1ca363bc9e00d0c61517b6dcd7100b67bcc05d8437b4a7ba32646f6a80197} أُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ حَقًّا[

Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan, “Kami beriman kepada sebagian dan kafir terhadap sebagian lani,” serta bermaksud mengambil jalan (tengah) antara yang demikian (iman atau kufur), merekalah orang-orang kafir yang sebenar-benarnya (QS  an-Nisa’ [4]: 150-151).

 

Selanjutnya, keimanan tersebut dibuktikan dengan ketaatan kepada semua hukum-hukum Allah, baik dalam perbuatan maupun ucapannya. Ketaatan inilah yang dimaksud dengan amal salih. Sebab, mengerjakan amal salih adalah menunaikan kewajiban, meninggalkan kemaksiatan, dan mengerjakan kebaikan.[16]

Selanjutnya dinyatakan: wa tawâ shawb al-haqq wa tawâ shawb ash-shabr (saling menasihati supaya menaati kebenaran dan saling menasihati supaya menetapi kesabaran). Sebenarnya, dua aktivitas ini—yakni saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran—dapat dikategorikan sebagai amal salih. Sebab, kedua aktivitas tersebut termasuk amal perbuatan yang diperintahkan oleh syariat.

Di samping itu, dalam beberapa ayat lainnya dinyatakan bahwa orang yang masuk surga dan mendapatkan ridha-Nya—berarti tidak termasuk yang merugi—adalah yang memenuhi dua persyaratan, yaitu: beriman dan beramal salih (QS al-Baqarah [2]: 25; QS al-Bayyinah [98]: 7).

Penyebutan tersendiri dua aktivitas tersebut menunjukkan adanya penekanan khusus pada keduanya. Ini persis seperti halnya penyebutan Jibril dan Mikail setelah sebelumnya disebutkan kata wa malâikatuh (dan malaikat-malaikat-Nya) yang berarti malaikat secara keseluruhan (QS al-Baqarah [2]: 98). Dalam bahasa Arab, yang demikian dikenal dengan athf al-khâshsh ‘ala al-‘âmm (menambahkan yang khusus pada yang umum). Menurut ash-Shabuni, jika iman dan amal salih menyempurnakan diri sendiri, sementara berwasiat dalam kebenaran dan kesabaran dapat menyempurnakan orang lain.[17]

            Kata al-haqq merupakan lawan dari batil atau sesat. Allah Swt. berfirman:

]فَذَلِكُمُ اللهُ رَبُّكُمُ الْحَقُّ فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلاَّ الضَّلاَلُ[

Itulah Allah Tuhan kalian yang sebenarnya. Karena itu, tidak ada sesudah kebenaran itu melainkan kesesatan. (QS Yunus [10]: 32).

           

Menurut ath-Thabari, yang dimaksud dengan al-haqq adalah Kitabullah.[18]Secara lebih luas, al-haqq bisa diartikan sebagai Dîn al-Islâm. Sebab, Islam satu-satunya agama yang benar dan wajib diikuti setelah diutusnya Rasulullah saw.

            Sedangkan ash-shabr berarti menahan dalam kesempitan.[19] Menurut al-Alusi, sabar bukan sekadar menahan jiwa dari kesempitan, namun juga menerima apa pun dari Allah Swt. dengan indah dan ridha, lahir dan batin.[20] Para mufasir menyatakan bahwa  ada tiga macam kesabaran yang harus dimiliki setiap Mukmin: (1) . sabar dalam menjalankan ketaatan; (2) sabar dalam menjauhi maksiat; (3) sabar dalam menerima berbagai musibah yang menimpa dirinya.

 

Relevansi Waktu, Kerugian, dan Amal Salih

Lamanya hidup manusia di dunia telah ditetapkan. Seiring berjalannya waktu, umur yang dimiliki makin pendek. Maka, menarik sekali apa yang diungkapkan ar-Razi dalam tafsirnya, mengenai keterkaitan antara waktu dan kerugian. Ketika rugi dipahami sebagai hilangnya modal, sementara modal manusia adalah umur yang dimilikinya, maka manusia senantiasa mengalami kerugian. Sebab, setiap saat, dari waktu ke waktu, umur yang menjadi modalnya terus berkurang. Tidak diragukan lagi, jika umur itu digunakan manusia untuk bermaksiat, ia benar-benar mengalami kerugian; bukan hanya tidak mendapatkan kompensasi apa pun dari modalnya yang hilang, bahkan dapat membahayakan dan mencelakan dirinya. Demikian juga jika umurnya dihabiskan untuk mengerjakan perkara-perkara yang mubah. Ia tetap dikatakan merugi. Sebab, modal yang dimiliki (umur) habis tanpa meninggalkan pengaruh apa pun bagi dirinya.[21]

            Bertolak dari pemahaman tersebut, maka orang yang beruntung hanyalah yang bersedia menghabiskan umurnya untuk mengerjakan amal salih. Sebab, hanya dengan mengerjakan amal salih manusia mendapatkan ganti dari modalnya yang telah hilang, bahkan jauh lebih besar daripada yang hilang darinya. Allah Swt. menjanjikan pahala berlipat bagi amal salih yang dikerjakan manusia. (QS al-Qashash [28]: 83).

Demikian juga dengan harta yang diinfakkan di jalan Allah Swt. Kepada pelakunya, dijanjikan akan mendapatkan balasan tujuh ratus kali lipat (QS al-Baqarah [2]: 261. Lihat juga: QS al-Baqarah [2]: 265).

Keuntungan lebih besar dapat diraih oleh seseorang yang melakukan dakwah, saling berwasiat untuk menaati kebenaran dan menepati kesabaran Rasulullah saw. bersabda:

«مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ»

Siapa saja yang menunjukkan kepada (orang lain) kebaikan, ia mendapatkan pahala sama dengan yang mengerjakannya. (HR Muslim).

 

Dengan adanya ketetapan tersebut, orang yang berdakwah, mengajak orang lain pada kebaikan, dan mencegah  kemungkaran, seolah hidup lebih lama daripada umur yang sebenarnya. Dalam hadis riwayat Muslim, Abu Dawud, dan Tirmidzi, dari Abu Hurairah disebutkan bahwa salah satu dari tiga amal yang tidak terputus pahalanya disebabkan kematian adalah ilmu bermanfaat yang diajarkan semasa masih hidup. Wasiat tentang kebenaran dan kesabaran yang terus diamalkan orang lain dapat dimasukkan di dalamnya.

Menyia-nyiakan waktu juga dipandang sangat merugikan jika dikaitkan dengan terbatasnya kehidupan manusia di dunia. Al-Quran memberitakan bahwa di akhirat kelak manusia merasakan bahwa kehidupan mereka di dunia sehari atau setengah hari (QS al-Mu‘minun [23]: 113) atau bahkan sekejap saja (QS Yunus [10]: 45). Allah Swt. juga menyatakan bahwa manusia tinggal di dunia hanya sebentar (QS al-Mu‘minun [23]: 114).

Dengan waktu yang amat singkat tersebut, kenikmatan maupun penderitaan yang dialami manusia di dunia sesungguhnya juga sangat kecil dan sedikit. Al-Quran menyatakan: matâ‘ al-dunyâ qalîl (kesenangan di dunia itu hanya sebentar atau sedikit) (QS an-Nisa’ [4]: 77). Kesenangan yang dirasakan orang kafir juga disebut qalîl (QS al-Baqarah [2]:126; QS Ali Imran [3]: 197). Disebut demikian jika dibandingkan dengan siksa yang bakal diterima di akhirat yang kekal dan sangat berat. Sebaliknya, penderitaan yang dialami seorang Mukmin akibat mempertahankan keimanannya dan memperjuangkan agama-Nya sesungguhnya juga amat ringan. Sebab, balasan yang didapatkan jauh lebih besar dan kekal abadi.

Dengan paradigma seperti ini, seseorang yang beruntung adalah orang yang benar-benar memanfaatkan waktu (hidupnya) untuk mengerjakan amal saleh. Jangankan perbuatan terlarang, perbuatan mubah dan tidak mendatangkan manfaat pun sebaiknya ditinggalkan. Rasulullah saw. Bersabda, sebagaimana dituturkan Abu Hurairah r.a.:

«مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ»

Di antara baiknya Islam seseorang adalah meninggalkan perkara yang tidak berguna. (HR at-Tirmidzi).

 

            Paradigma itu, juga akan membuat seseorang menjadi orang yang sabar. Sabar dalam keimanan. Hal itu tercermin dalam sikapnya yang kukuh, tahan, dan tak tergoyahkan dalam mempertahankan aqidahnya, meskipun harus menerima berbagai penderitaan dan siksaan. Sabar dalam menjalankan syariat-Nya. Wujudnya, jiwanya terasa ringan mengerjakan semua perintah-Nya dengan segala kemampuan yang dimiliki, meskipun perintah itu sangat berat. Sabar dalam menjauhi kemaksiatan. Implementasinya, hatinya tak akan tergoda melaksanakan perbuatan maksiat, kendati hal itu sangat mempesona dan menggiurkan. Sabar dalam berdakwah. Bentuknya, ia tak pernah jemu menyampaikan dakwah, meskipun sering kali ditolak, atau bahkan  mendapatkan cemoohan, siksaan, atau hukuman. Juga, sabar menerima semua musibah dan cobaan. Realisasinya, ia akan tetap berhusnudzan kepada Allah Swt, bahwa semua yang diberikan Allah Swt. kepadanya adalah yang terbaik untuknya. Semua itu dilakukan karena berharap besarnya pahala yang diterima, berupa ridha Allah Swt. dan surga-Nya yang dipenuhi berbagai kenikmatan tiada tara.             Jadi, masihkah kita berani menyia-nyiakan waktu? Bergegaslah segera memenuhi panggilan Allah dan Rasul-Nya untuk berjuang menegakkan agama-Nya. Wallâhu a‘lam

 

[1]     Wahbah az-Zuhayli, At-Tafsîr al-Munîr fi al-‘Aqîdah wa al-Syarî’ah wa al-Manhaj vol. 15. Beirut: Dar al-Fikr, 1991, 390.

[2]     Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth vol. 8. Beirut: Dar  al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993, 507

[3]     Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur’ân.

[4]     Ali ash-Shabuni, Shafwah al-Tafâsîr,  vol. 3. Beirut: Dar al-Fikr, 1996, 574.

[5]     As-Suyûtî, ad-Durr al-Mantsûr, 767.

[6]     Al-Qurtubi, Al-Jâmi‘ li Ahkâm al-Qur’ân, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993, 122

[7]     Ath-Thabari, Tafsîr ath-Thabari, vol. 12. Beirut: Dar al-Fikr, 1992, 684; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5. Beirut: Dar al-Fikr, t.t., 5; Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 4. Beirut: Dar al-Fikr, 2000, 2070.

[8]     Abu Hayyan, op. cit.,  508.

[9]     Fakhruddin al-Razi, Atl-Tafsîr al-Kabîr aw Mafâtîh al-Ghayb. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990, 82.

[10]    Abu Hayyan, op. cit., 508.

[11]    Az-Zuhaili, op. cit., 392; ar-Raghib al-Ashfahani, Mu’jam Mufradat Alfâdz al-Qur’ân. Beirut: Dar al-Fikr, t.t., 148.

[12]    Ali ash-Shabuni, op. cit., vol. 3, 575

[13]    Lihat: ar-Razi, op. cit., 83; az-Zuhayli, op. cit.,  393.

[14]    Abu Bakr ar-Razi, op. cit., Tartîb Mukhtâr al-Shihâh, Beirut: Dar al-Fikr, 1993, 50.

[15] Taqiyuddin an-Nabhani, Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, vol. 1 Beirut: Dar al-Ummah, 2003, 29.

[16]    Az-Zuhayli, op. cit., 395; al-Qurtubi, op. cit.,  122.

[17]    Ali al-Shabuni, op. cit., 575

[18]    Ath-Thabari, op. cit., 685

[19]    Al-Ashfahani, op. cit., 280

[20]    Al-Alusi, Rûh al-Ma‘âni, vol. 15, 458

[21]    Ar-Razi, op. cit.,  83.

 

SebelumnyaTAFSIR QS AL-FURQAN [25]: 72: SIFAT-SIFAT ‘IBÂD AL-RAHMAN - "TIDAK MENGHADIRI KEBATILAN"SesudahnyaTAFSIR ANNUR 48-50: CIRI KAUM MUNAFIK, DISKRIMINATIF TERHADAP HUKUM SYARA’
No Comments

Tulis komentar

Your email address will not be published. Required fields are marked *