• “Sesungguhnya yang memakmurkan masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, serta (tetap) menegakkan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut kecuali hanya kepada Allah. Maka mudah-mudahan mereka termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk.” At-Taubah: 18
Tuesday, 8 October 2024

AKHLAK DAN KEBANGKITAN UMAT

Bagikan

Pengantar:

Dalam salah satu masterpiece-nya, kitab Nizhâm al-Islâm, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, menjelaskan persoalan di seputar akhlak pada salah satu bahasannya. Ini tentu saja bukan hal yang luar biasa, karena akhlak memang sering—bahkan terlalu sering—dikaji oleh kebanyakan para ulama saat ini. Yang luar biasa dari paparan beliau dalam masalah akhlak ini, sebagaimana juga dalam sejumlah masalah lain, adalah  perspektifnya yang relatif baru, yang memang berbeda dengan pandangan kebanyakan ulama saat ini ketika mereka membincangkan akhlak, di samping kritikannya yang tajam terhadap kalangan yang memandang akhlak ‘segala-galanya’ dalam upaya membangkitkan umat. Bagaimana penjelasannya?  Tulisan berikut berusaha memaparkan secara lebih gamblang persoalan di seputar akhlak yang ditulis oleh beliau dalam bagian terakhir dari kitab tersebut.

 

Akhlaq (akhlak) adalah bentuk plural dari khulq atau khuluq. Secara literal, khulq atau khuluq bermakna syajiyah, filân,murû‘ah, ‘âdah, dan thab‘ (karakter, kejiwaan, kehormatan diri, adat-kebiasaan, dan sifat alami).

Al-Mawardi menyatakan bahwa makna hakiki dari khuluq adalah adab (budi pekerti) yang diadopsi oleh seseorang, yang kemudian dijadikan sebagai karakter dirinya. (Imam Qurthubi, Tafsîr al-Qurthubî). Sedangkan budi pekerti yang telah melekat pada diri seseorang disebut dengan khîm, syajiyah, dan thabî‘ah (karakter). Atas dasar itu, akhlak adalah al-khîm al-mutakallaf (karakter yang dibebankan atau karakter ciptaan), sedangkan khîm adalah thab‘ gharizî (karakter yang bersifat naluriah (tabiat atau karakter bawaan).

Kadang-kadang khuluq digunakan dengan makna agama (dîn) dan kebiasaan (‘âdah). Al-Quran telah menggunakan kata khuluq dengan makna agama dan kebiasaan dalam surat al-Syu‘ara’ (26) ayat 137 dan al-Qalam (68) ayat 4. Allah Swt. berfirman:

]إِنْ هَذَا إِلاَّ خُلُقُ اْلأَوَّلِينَ[

 (Agama kami) ini tidak lain hanyalah adat-kebiasaan orang dulu. (QS [26]: 137).

]وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ[

Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. (QS al-Qalam [68]: 4).

    

Makna khuluq yang terdapat dalam surat al-Qalam ayat 4 adalah dîn (agama). Al-‘Aufi menyatakan bahwa khuluq ‘azhîm maknanya adalah dînuka al-‘azhîm. Penafsiran semacam ini juga dianut oleh adh-Dhahak, Mujahid, Abu Malik, Rabi‘ bin Anas, Ibn Zaid, Imam Ahmad, dan lain-lain. Sedangkan Ibn ‘Athiyyah menafsirkan khuluq ‘azhîm dengan al-adab al-azhîm (budi pekerti atau karakter yang agung). (Imam Ibnu Katsir, Tafsîr Ibn Katsîr).

 

Yang dimaksud dengan adab di sini bukanlah budi pekerti (karakter) yang lahir secara alamiah atau nilai-nilai universal yang luhur, tetapi adab yang lahir dari al-Quran. Imam ath-Thabari menyatakan, bahwa maksud dari kalimat wa innaka la‘ala khuluqin ‘azhîm adalah adabin ‘azhîm”. Maksudnya, karakter budi pekerti Rasulullah adalah budi pekerti yang dibentuk oleh al-Quran, bukan karakter alamiah yang terpisah dari al-Quran dan as-Sunnah. Dengan kata lain, budi pekerti (adab) Rasulullah saw. adalah Islam dan syariat-Nya (hukum-hukum Allah Swt.). Menurut Imam ath-Thabari, ini adalah pendapat para ahli tafsir. (Imam ath-Thabari, Tafsîr ath-Thabarî).

Qatadah menuturkan sebuah riwayat yang menyatakan, bahwa Aisyah pernah ditanya tentang akhlak Rasulullah saw. Beliau menjawab, “Akhlak Rasulullah saw. adalah al-Quran.”

 

Sa‘id bin Abi ‘Arubah, tatkala menafsirkan firman Allah Swt., wa innaka la‘ala khuluqin ‘azhîm, menyatakan, “Telah dituturkan kepada kami, bahwa Sa‘id bin Hisyam bertanya kepada ‘Aisyah tentang akhlaq Rasulullah saw. ‘Aisyah menjawab, ‘Bukankah kamu membaca al-Quran.’”

 

Imam Abu Dawud dan Nasa’i juga meriwayatkan sebuah hadis dari Aisyah r.a. yang menyatakan bahwa akhlak Rasulullah saw. adalah al-Quran.

Imam Ibn Katsir menyatakan bahwa akhlak Rasulullah saw. adalah refleksi dari al-Quran. Beliau menambahkan lagi, sesungguhnya karakter (akhlak) Rasulullah saw. merupakan wujud dari ketaatan beliau pada perintah dan larangan Allah Swt. Beliau senantiasa mengerjakan apa yang diperintahkan Allah dan meninggalkan apa yang dilarang oleh-Nya. Wajar saja jika dalam sebuah riwayat, Rasulullah saw. bersabda:

«إِنَّمَا بُعِثْتُ ِلأُتَمِّمَ صَالِحَ اْلأَخْلاَقِ»

Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak. (HR Ahmad).

 

Dari seluruh penjelasan di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa akhlak adalah karakter ciptaan (fabricated), bukan karakter bawaan (khîm). Akhlak seorang Muslim berbeda dengan akhlak non-Muslim. Akhlak seorang Muslim dibentuk berdasarkan al-Quran (akidah dan syariat-Nya). Sebaliknya, akhlak non-Muslim dibentuk berdasarkan prinsip-prinsip non- Islam. Untuk itu, meskipun sama-sama jujur, kita tidak bisa menyatakan bahwa seorang kapitalis dan seorang Muslim sama-sama memiliki akhlak yang baik. Sebab, proses pembentukkan karakter dirinya tidaklah sama. Kejujuran seorang Muslim selalu didasarkan pada akidah dan syariat Islam. Dengan kata lain, kejujurannya adalah buah dari pelaksanaan ajaran-ajaran Islam, tidak dibentuk semata-mata karena jujur itu adalah nilai-nilai universal atau karena bermanfaat.

 

Berbeda dengan kapitalis maupun sosialis. Kejujurannya tidak didasarkan pada prinsip-prinsip Islam, tetapi hanya didasarkan pada prinsip manfaat dan kemanusiaan belaka. Kejujurannya sama sekali tidak dibangun di atas prinsip ketakwaan kepada Allah Swt. Walhasil, akhlak seorang Muslim berbeda dengan akhlak orang kafir, meskipun penampakannya sama.

 

Akhlak seorang Muslim merupakan refleksi dari pelaksanaan dirinya terhadap hukum-hukum syariat. Seseorang tidak disebut berakhlak Islam ketika nilai-nilai akhlak tersebut dilekatkan pada perbuatan-perbuatan yang diharamkan Allah Swt. Misalnya, pegawai bank yang senantiasa terlibat dalam transaksi ribawi tidak disebut berakhlak Islam meskipun ia terkenal jujur, disiplin, dan sopan. Sebab, ia telah melekatkan sifat-sifat akhlak pada perbuatan yang diharamkan Allah Swt. Anggota parlemen yang suka membuat aturan-aturan kufur juga tidak bisa disebut memiliki akhlak Islam meskipun ia terkenal jujur, amanah, dan seterusnya. Sebab, nilai-nilai akhlaknya telah melekat pada perbuatan haram. Walhasil, akhlak seorang Muslim harus dibentuk berdasarkan al-Quran al-Karim. Dengan kata lain, akhlak seorang Muslim adalah refleksi dari pelaksanaan hukum-hukum Allah Swt.

 

Posisi Akhlak Dalam Syariah

Ada sebagian kaum Muslim yang memahami, bahwa kebangkitan umat harus dimulai dari kebangkitan akhlak. Mereka mengajukan sebuah asumsi, “Jika setiap individu memiliki akhlak yang baik maka masyarakat pun akan menjadi baik. Kemunduran dan kebangkitan suatu masyarakat sangat ditentukan oleh kebangkitan dan kemunduran akhlaknya.”

 

Mereka juga mengetengahkan dalil-dalil syariat untuk membangun argumentasi mereka. Dari al-Quran, mereka mengetengahkan surat al-Qalam ayat 4, sebagaimana dinukil di atas dan nash-nash yang senada. Dari as-Sunnah mereka juga berhujah dengan hadis yang berbicara tentang akhlak, sebagaimana yang juga dinukil di atas.

 

Benar, akhlak merupakan salah satu bagian dari ajaran Islam. Namun demikian, kita tidak boleh memahami, bahwa akhlak yang dimaksud di sini sekadar sebagai nilai-nilai universal, yang terlepas sama sekali dengan konteks hukum syariat. Kejujuran, amanah, disiplin, rasa hormat, dan lain-lain merupakan nilai akhlak yang mulia. Semuanya adalah nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh umat manusia tanpa memperhatikan agama, ras, suku dan jenis kelamin. Kaum Kristen, Budha, Yahudi, Konghucu, dan kaum kapitalis pun sangat menjunjung tinggi nilai-nilai itu; bahkan berusaha untuk menerapkannya. Kaum Muslim juga menjunjung tinggi dan berusaha menerapkan nilai-nilai tersebut di dalam kehidupannya.

Namun demikian, seorang Muslim tatkala hendak menerapkan nilai-nilai yang sangat mulia itu, bukan didorong oleh sebuah motivasi bahwa nilai-nilai tersebut adalah nilai universal, tetapi karena hal itu diperintahkan oleh Allah Swt. Seorang Muslim bersikap jujur, karena ia memang diperintahkan oleh Allah Swt., bukan karena jujur itu bermanfaat atau nilai universal. Dengan kata lain, akhlak seorang Muslim adalah refleksi dari pelaksanaan syariat-Nya. Sebab, seluruh perbuatan seorang Muslim wajib bersandar pada syariat Islam. Di sisi lain, seorang Muslim harus memahami, kapan ia jujur, dan kapan ia tidak boleh jujur. Tatkala melakukan jual-beli dengan orang lain, ia harus jujur dan amanah. Sebaliknya, ketika dalam peperangan melawan kaum kafir, ia tidak diperbolehkan jujur membeberkan kekuatan kaum Muslim.

Kenyataan di atas menunjukkan bahwa akhlak merupakan bagian dari syariat Islam. Menurut pandangan Islam, akhlak bukan sekadar nilai universal yang berlaku di tengah-tengah manusia, tetapi sifat yang wajib dimiliki seorang Muslim, berdasarkan perintah dari Allah Swt. Dengan kata lain, akhlak adalah syariat Islam yang mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri.     

 

Benarkah Akhlak Sebagai Pembangkit Umat?

Bantahan atas pendapat yang menyatakan bahwa kebangkitan umat atau persoalan mendasar umat adalah bagaimana membangkitkan akhlaknya dapat diperinci sebagai berikut:

 

Pertama, sebenarnya konteks yang hendak dikaji adalah kebangkitan umat atau kebangkitan masyarakat, bukan kebangkitan individu. Individu berbeda dengan masyarakat dari sisi karakter maupun penyusunnya. Atas dasar itu, cara membangkitkan individu berbeda dengan cara membangkitkan masyarakat atau umat. Akhlak adalah hukum syariat yang mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Oleh karena itu, akhlak adalah salah satu variabel penting untuk membangkitkan individu.

Berbeda dengan konteks kebangkitan masyarakat. Untuk membahas kebangkitan masyarakat, kita harus memahami unsur-unsur penyusun masyarakat dan cara untuk mengubahnya. Begitu pula jika kita hendak mengubah individu, kita mesti memahami terlebih dulu unsur-unsur penyusun individu dan bagaimana cara membangkitkannya.

Masyarakat sendiri tersusun atas manusia, pemikiran, perasaan,dan aturan yang diberlakukan di tengah-tengah masyarakat. Benar, manusia merupakan salah satu faktor penyusun masyarakat. Namun demikian, perubahan manusia tidak secara otomatis menghasilkan perubahan masyarakat maupun warna masyarakat. Sebab, masyarakat tidak hanya tersusun dari manusia belaka, tetapi juga tersusun oleh pemikiran, perasaan, dan aturan. Selain itu, faktor yang menentukan corak dan warna masyarakat bukanlah manusia sebagai individu, melainkan pemikiran dan aturan yang diterapkan.

Para penganut agama Budha terkenal sebagai orang-orang yang menjunjung nilai-nilai akhlak, bahkan memiliki sifat-sifat akhlak yang mulia. Namun demikian, warna masyarakat yang tersusun dari orang-orang Budha dan agama Budha adalah masyarakat kufur, bukan masyarakat Islam. Ini menunjukkan, bahwa faktor yang menentukan corak dan warna masyarakat adalah pemikiran dan aturan yang diterapkan di dalamnya, bukan akhlak individunya.

Masyarakat di negeri-negeri yang berpenduduk mayoritas Muslim yang terkenal jujur, amanah, dan berbudi pekerti luhur, disebut masyarakat yang tidak islami jika sistem aturan yang diberlakukan di negeri-negeri Islam tersebut adalah sistem aturan kufur. Negeri Baghdad ketika dikuasai bangsa Mongol tidak lagi disebut negara Islam, karena sistem yang diberlakukan setelah itu bukan lagi sistem Islam. Ini semua menunjukkan, bahwa perubahan akhlak individu tidak secara otomatis mengubah warna masyarakat. Bahkan, perubahan akhlak—sebagai nilai-nilai universal—sama sekali tidak berhubungan dengan perubahan warna masyarakat.

Masyarakat Jahiliah sebelum Islam juga menjunjung nilai-nilai akhlak yang tinggi—menghargai tamu, perwira, dan sebagainya. Sifat-sifat akhlak ini tidak berubah ketika mereka berubah menjadi masyarakat Islam. Ini menunjukkan bahwa akhlak tidak berhubungan dengan perubahan warna masyarakat.

Walhasil, jika konteks pembicaraan kita adalah mengubah warna atau corak masyarakat maka aktivitas perubahannya tidak boleh difokuskan hanya pada perubahan individunya belaka, namun harus difokuskan pada perubahan pemikiran dan aturan yang ada di tengah-tengah masyarakat.

Di sisi yang lain, nilai-nilai akhlak—sebagai nilai universal—bukanlah nilai yang berdiri sendiri. Akan tetapi, ia selalu melekat pada perbuatan tertentu. Jujur adalah nilai akhlak. Namun, Anda tidak bisa mengetahui apakah seseorang itu jujur atau tidak, kecuali ketika ia melakukan suatu aktivitas tertentu. Jujur bisa melekat pada perbuatan apapun, halal maupun haram. Jujur bisa melekat pada seorang pegawai bank yang mengkonsumsi ribawi. Jujur juga bisa melekat pada anggota parlemen yang suka menelorkan aturan-aturan kufur. Namun demikian, jujur yang melekat pada perbuatan-perbuatan haram tersebut tidak memiliki nilai sama sekali. Bahkan, kita tidak boleh menyatakan bahwa orang tersebut berakhlak. Sebab, kejujurannya telah melekat pada perbuatan haram.

Dedikasi yang tinggi, disiplin, dan amanah bisa saja melekat pada diri anggota pasukan perang yang menjadi pembela sistem kufur. Akan tetapi, kita tidak mungkin menyatakan orang-orang ini menjunjung tinggi nilai-nilai Islam. Bahkan, akhlak yang menempel pada sistem kufur semacam ini tidak memiliki arti sedikitpun dalam timbangan Islam. Yang terpenting adalah mengubah pemikiran dan sistem aturan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat. Sedangkan akhlak hanyalah sekadar bagian dari aturan-aturan Allah Swt. yang mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Perubahan akhlak sama sekali tidak berkaitan dengan perubahan warna masyarakat.

 

Kedua, pernyataan di atas tidak berarti bahwa kami meremehkan akhlak, atau menganggap bahwa akhlak bukanlah perkara penting jika dibandingkan dengan perkara-perkara yang lain. Al-Quran sendiri tidak menyebut kata khuluq di banyak tempat, kecuali pada surat al-Qalam ayat 4 dan asy-Syu’ara ayat 137. Selain itu, para fuqaha hanya mengkaji masalah-masalah yang berhubungan dengan hukum syariat. Mereka tidak pernah mengkaji akhlak dalam bab fikih tersendiri. Ini menunjukkan bahwa akhlak adalah bagian dari syariat Islam yang mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri.

 

Ketiga, seandainya kita mencermati bangsa-bangsa yang saat ini mengalami kemajuan, kita bisa menyimpulkan, bahwa akhlak yang dimiliki oleh kaum Muslim tetap lebih tinggi dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain. Namun demikian, kaum Muslim tetap saja dalam posisi mundur. Mereka tertinggal jauh dengan bangsa-bangsa yang akhlaknya lebih rendah dibandingkan dengan mereka.

 

Keempat, fakta juga telah menunjukkan bahwa propaganda-propaganda, seruan-seruan maupun buku-buku, selebaran, poster, dan lain-lain yang menyerukan akhlak sama sekali tidak memberikan pengaruh bagi kebangkitan kaum kaum Muslim. Umat Islam tetap mundur dari sisi ekonomi, politik, dan hukum. Ini juga membuktikan bahwa akhlak bukanlah asas atau dasar dari perubahan masyarakat. Ia juga bukan masalah utama bagi kaum Muslim.

Seluruh penjelasan di atas tidak boleh dipahami, bahwa kami meremehkan akhlak atau tidak menganggap penting masalah akhlak. Namun, kami hanya ingin menjelaskan, bahwa akhlak bukanlah persoalan utama kaum Muslim, dan juga bukan asas dan dasar kebangkitan umat.

Surat al-Qalam ayat 4 dan Hadis Nabi saw. sebagaimana dinukil di atas dan nash-nash yang senada pengertiannya tidak bisa dipahami bahwa asas perubahan adalah akhlak atau bahwa persoalan yang menjadi fokus perhatian utama Rasulullah saw. adalah perubahan akhlak. Para mufasir terkenal seperti Mujahid, ad-Dhahak, ath-Thabari, dan al-Qurthubi, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kata khulq pada surat al-Qalam ayat 4, bukan sekadar “akhlak”, tetapi bermakna “dîn” (agama). 

 

Catatan Kaki

1           Lihat Imam al-Raziy, Mukhtaar al-Shihaah, hal.187.

 

[sumber : globalmuslim.web.id]

SebelumnyaMARKETING DENGAN “WAKALAH BI AL-UJRAH”SesudahnyaDOA MEMBELAH LANGIT
No Comments

Tulis komentar

Your email address will not be published. Required fields are marked *